1.
DEFINISI
Ijmak menurut
ulama ilmu ushul fikih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa
setelah wafatnya Rasulullah saw. atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
Apabila ada suatu peristiwa
yang pada saat kejadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka sepakat
memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut
ijmak. Kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil
bahwa hukum itu adalah hukum syara’ atas suatu kejadian. Dalam definisi
disebutkan “setelah wafatnya Rasulullah saw”, karena semasa hidupnya,
beliau sendiri adalah rujukan hukum syara’, sehingga tidak mungkin ada
perbedaan hukum syara’ juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bisa
terwujud dari beberapa orang.
2.
UNSUR-UNSUR
Ijmak
dianggap sah menurut syara’ bila mencakup empat unsur:
1.
Kesepakatan
tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang memiliki kesesuaian.
2.
Kesepakatan
atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh
mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsaan, atau kelompoknya.
3.
Kesepakatan
mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid.
4.
Kesepakatan
itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia Islam.
3.
KEKUATAN IJMAK SEBAGAI HUJJAH
Bukti
kekuatan ijmak sebagai hujjah:
1.
Sebagaimana
Allah swt. dalam Al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk ta’at
kepada Allah dan ta’at kepada Rasul-Nya, Dia juga memerintahkan untuk ta’at
kepada Ulil Amri, seperti dalam firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟
ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah
Rasulnya dan Ulil Amr diantara kamu.” [QS.
An-Nisaa’: 59]
Lafal al Amri artinya adalah hal atau perkara ia bersifat umum,
meliputi masalah agama dan dunia. Ulil amri pada masalah dunia adalah raja, penguasa
dan para pemimpin. Sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli
fatwa. Sebagian ahli tafsir, terutama Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amri itu
dengan ulama’, sedangkan ahli tafsir yang lain menafsirinya dengan pemimpin dan
penguasa. Yang jelas, penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus
ditaati dalam ruang lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri telah sepakat
menentukan hukum syara’ yakni para mujtahid, maka wajib diikuti dan
dilaksanakan berdasarkan nash Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah swt:
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُو۟لِى ٱلْأَمْرِ
مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسْتَنۢبِطُونَهُۥ مِنْهُمْ ۗ
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” [QS. An-Nisaa’: 83]
Allah swt juga mengancam orang-orang yang menentang Rasul dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin dengan firman-Nya:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ
مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ
مَصِيرًا
“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,
dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke
dalam Jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. An-Nisaa’: 115]
Dalam ayat ini Allah swt. menjadikan orang yang menentang jalan
orang-orang mukmin sebagai kawan orang-orang yang menentang Rasul.
2.
Pada
dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam
adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya. Ada beberapa hadits
dari Rasul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharanya umat
(dalam kebersamaan) kesalahan, antara lain:
لا تجمع امتي على خطا
Umatku
tidak akan berkumpul (dan sepakat) untuk melakukan kesalahan.
لم يكن الله ليجمع امتي على الضلالة
Tidak
mungkin Allah mengumpulkan umatku melakukan kesesatan.
ما را ه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Apa
yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik menurut Allah swt.
Ketidakmungkinan melakukan kesalahan itu ditunjukkan oleh
kesepakatan seluruh mujtahid atas satu hukum terhadap satu kejadian. Perbedaan
sudut pandang, lingkungan, dan bermacam-macam sebab perbedaan mereka adalah bukti
bahwa kesamaan haq dan kebenaranlah yang menyatukan pendapat mereka dan yang
menyisihkan alasan-alasan perbedaan pendapat mereka.
4.
KEMUNGKINAN MENGADAKAN IJMAK
Menurut kebiasaan, tidak mungkin diadakan bila diserahkan kepada
masing-masing umat Islam dan kelompoknya. Ijmak mungkin dapat diadakan bila
dikuasai oleh pemerintahan Islam dimana saja. Masing-masing pemerintahan dapat
menentukan syarat seseorang dianggap mencapai tingkatan ijtihad dan memberikan
titel ijtihad kepada orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Dengan
demikian, setiap pemerintahan dapat mengetahui para mujtahid dan
pendapat-pendapatnya mengenai peristiwa apa saja bila masing-masing
pemerintahan telah mengetahui seluruh pendapat mujtahidnya tentang suatu
peristiwa kemudian ditemukan kesepakatan para mujtahid di seluruh pemerintahan
Islam atas satu hukum pada peristiwa dimaksud, berarti telah terjadi ijmak, dan
hokum yang telah di sepakati itu menjadi hukum syara’ yang wajib diikuti oleh
umat Islam.
5.
TERBENTUKNYA IJMAK
Setelah masa
sahabat (kecuali sebagian masa kekuasaan Amawiyah di Andalus tersebut) tidak
pernah terjadi ijmak, tidak terbukti adanya ijmak oleh mayoritas mujtahid untuk
menetapkan hukum syara’, dan tidak pernah ada penetapan hukum dari jama’ah,
tetapi para mujtahid melakukan ijtihad di negara dan di lingkungannya
sendiri-sendiri.
Maka penetapan
hukum itu bersifat individu, bukan hasil musyawarah; kadang-kadang ada kesamaan
dan kadang-kadang ada pertentangan. Maksimal yang dapat dikatakan seorang ahli
fiqih, “Hukum tentang peristiwa ini tidak diketahui ada yang menentangnya.”.
6.
MACAM-MACAM IJMAK
Ijmak
ditinjau dari cara penetapannya, ada dua:
1.
IJMAK SHARIH
Yaitu para mujtahid pada satu masa itu
sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat
masing-masing yang diperkuat dengan fatwa atau keputusan, yakni masing-masing
mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang
mencerminkan pendapatnya.
2.
IJMAK SUKUTI
Yaitu sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya
secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan
sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak,
terhadap pendapat yang telah dikemukakan
MARAJI’
Khallaf, Prof.
Dr. Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih (Kaidah Hukum Islam). Jakarta:
Pustaka Amani
nice share, [ask] ijma bisa jadi dasar hukum gak?
BalasHapusBisa. Karena Al-Ijma' adalah sumber hukum ketiga, setelah Al-Qur'an, dan As-Sunnah. Dan sumber hukum keempatnya adalah Al-Qiyas.
BalasHapus