Laman

Sabtu, 13 Oktober 2012

AL-IJMA'


AL-IJMA’[1]

1.    DEFINISI
Ijmak menurut ulama ilmu ushul fikih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw. atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.
        Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat kejadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka disebut ijmak. Kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah hukum syara’ atas suatu kejadian. Dalam definisi disebutkan “setelah wafatnya Rasulullah saw”, karena semasa hidupnya, beliau sendiri adalah rujukan hukum syara’, sehingga tidak mungkin ada perbedaan hukum syara’ juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bisa terwujud dari beberapa orang.

2.   UNSUR-UNSUR
Ijmak dianggap sah menurut syara’ bila mencakup empat unsur:
1.    Kesepakatan tidak mungkin dicapai kecuali dari beberapa pendapat yang memiliki kesesuaian.
2.    Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal negara, kebangsaan, atau kelompoknya.
3.    Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid.
4.    Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia Islam.

3.    KEKUATAN IJMAK SEBAGAI HUJJAH
Bukti kekuatan ijmak sebagai hujjah:
1.    Sebagaimana Allah swt. dalam Al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk ta’at kepada Allah dan ta’at kepada Rasul-Nya, Dia juga memerintahkan untuk ta’at kepada Ulil Amri, seperti dalam firman-Nya:


يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasulnya dan Ulil Amr diantara kamu.” [QS. An-Nisaa’: 59]
Lafal al Amri artinya adalah hal atau perkara ia bersifat umum, meliputi masalah agama dan dunia. Ulil amri pada masalah dunia adalah raja, penguasa dan para pemimpin. Sedangkan pada masalah agama adalah para mujtahid dan ahli fatwa. Sebagian ahli tafsir, terutama Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amri itu dengan ulama’, sedangkan ahli tafsir yang lain menafsirinya dengan pemimpin dan penguasa. Yang jelas, penafsiran itu mencakup keseluruhan, dan semuanya harus ditaati dalam ruang lingkup masing-masing. Bila Ulil Amri telah sepakat menentukan hukum syara’ yakni para mujtahid, maka wajib diikuti dan dilaksanakan berdasarkan nash Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah swt:
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسْتَنۢبِطُونَهُۥ مِنْهُمْ ۗ
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” [QS. An-Nisaa’: 83]
Allah swt juga mengancam orang-orang yang menentang Rasul dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin dengan firman-Nya:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ ٱلْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِۦ جَهَنَّمَ ۖ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. An-Nisaa’: 115]
Dalam ayat ini Allah swt. menjadikan orang yang menentang jalan orang-orang mukmin sebagai kawan orang-orang yang menentang Rasul.



2.    Pada dasarnya hukum yang telah disepakati oleh pendapat semua mujtahid umat Islam adalah hukum umat yang diperankan oleh para mujtahidnya. Ada beberapa hadits dari Rasul dan atsar dari para sahabat yang menunjukkan terpeliharanya umat (dalam kebersamaan) kesalahan, antara lain:
لا تجمع امتي على خطا
Umatku tidak akan berkumpul (dan sepakat) untuk melakukan kesalahan.
لم يكن الله ليجمع امتي على الضلالة
Tidak mungkin Allah mengumpulkan umatku melakukan kesesatan.
ما را ه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik menurut Allah swt.
Ketidakmungkinan melakukan kesalahan itu ditunjukkan oleh kesepakatan seluruh mujtahid atas satu hukum terhadap satu kejadian. Perbedaan sudut pandang, lingkungan, dan bermacam-macam sebab perbedaan mereka adalah bukti bahwa kesamaan haq dan kebenaranlah yang menyatukan pendapat mereka dan yang menyisihkan alasan-alasan perbedaan pendapat mereka.

4.    KEMUNGKINAN MENGADAKAN IJMAK
Menurut kebiasaan, tidak mungkin diadakan bila diserahkan kepada masing-masing umat Islam dan kelompoknya. Ijmak mungkin dapat diadakan bila dikuasai oleh pemerintahan Islam dimana saja. Masing-masing pemerintahan dapat menentukan syarat seseorang dianggap mencapai tingkatan ijtihad dan memberikan titel ijtihad kepada orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Dengan demikian, setiap pemerintahan dapat mengetahui para mujtahid dan pendapat-pendapatnya mengenai peristiwa apa saja bila masing-masing pemerintahan telah mengetahui seluruh pendapat mujtahidnya tentang suatu peristiwa kemudian ditemukan kesepakatan para mujtahid di seluruh pemerintahan Islam atas satu hukum pada peristiwa dimaksud, berarti telah terjadi ijmak, dan hokum yang telah di sepakati itu menjadi hukum syara’ yang wajib diikuti oleh umat Islam.

5.    TERBENTUKNYA IJMAK
Setelah masa sahabat (kecuali sebagian masa kekuasaan Amawiyah di Andalus tersebut) tidak pernah terjadi ijmak, tidak terbukti adanya ijmak oleh mayoritas mujtahid untuk menetapkan hukum syara’, dan tidak pernah ada penetapan hukum dari jama’ah, tetapi para mujtahid melakukan ijtihad di negara dan di lingkungannya sendiri-sendiri.
Maka penetapan hukum itu bersifat individu, bukan hasil musyawarah; kadang-kadang ada kesamaan dan kadang-kadang ada pertentangan. Maksimal yang dapat dikatakan seorang ahli fiqih, “Hukum tentang peristiwa ini tidak diketahui ada yang menentangnya.”.

6.    MACAM-MACAM IJMAK
Ijmak ditinjau dari cara penetapannya, ada dua:
1.   IJMAK SHARIH
          Yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat dengan fatwa atau keputusan, yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.

2.   IJMAK SUKUTI
Yaitu sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak, terhadap pendapat yang telah dikemukakan




MARAJI’
Khallaf, Prof. Dr. Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih (Kaidah Hukum Islam). Jakarta:
            Pustaka Amani




     [1]Lafal al Ijma’ menurut bahasa Arab berarti tekad, seperti dalam firman Allah swt.:
فَأَجْمِعُوٓا۟ أَمْرَكُمْ وَشُرَكَآءَكُمْ
Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu untuk membinasakanku. (QS. Yunus: 71)

2 komentar:

  1. nice share, [ask] ijma bisa jadi dasar hukum gak?

    BalasHapus
  2. Bisa. Karena Al-Ijma' adalah sumber hukum ketiga, setelah Al-Qur'an, dan As-Sunnah. Dan sumber hukum keempatnya adalah Al-Qiyas.

    BalasHapus