Laman

Sabtu, 13 Oktober 2012

Madzhab Kontemporer ALIRAN SUFIYAH


Madzhab Kontemporer
ALIRAN SUFIYAH

A.  ASAL USUL ALIRAN SUFI
Kata sufi diambil dari sebuah kata yunani ‘Sophia’ yang bermakna kebijaksanaan. Dikatakan juga bahwa sufi adalah sebuah kata yang dihubungan dengan memakai pakaian wol (shuf). Dan perkataan ini adalah yang paling mendekati karena pakaian wol merupakan tanda kezuhudan mereka (yaitu melepaskan diri dan menjauh dari kehidupan dunia). Dikatakan bahwa hal ini dilakukan untuk meneladani ‘Isa bin Maryam ‘alaihis-salaam.
Muhammad bin Siriin (seorang tabiin terkenal yang meninggal pada tahun 110 H) disampaikan kepada dia bahwa orang tertentu memakai pakaian wol untuk meneladani ‘Isa bin Maryam, maka dia berkata:
إن قوما يتخيرون لباس الصوف يقولون إنهم يتشبهون بالمسيح بن مريم ، وهدي نبينا أحب إلينا وكان صلى الله عليه وسلم يلبس القطن وغيره ،
 Ada satu kaum yang memilih dan mengutamakan memakai pakaian wol, mengaku bahwa mereka ingin meneladani Al-Masih bin Maryam. Tetapi jalan Nabi kita lebih kita cintai, dan  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai katun dan pakaian lain.

B.        KEMUNCULAN PERTAMA ALIRAN SUFI
Berhubungan dengan kemunculan pertama kali aliran sufi, kata ‘sufi’ tidak dikenal pada jaman shahabat, lebih-lebih kata tersebut tidak diketahui dalam tiga generasi pertama yang terbaik. Istilah tersebut dikenal setelah penghujung tiga generasi pertama. Kemunculan pertama aliran sufi di Basrah, ‘Iraq. Dimana beberapa orang ingin berlebih-lebihan dalam ibadah dan dalam menghindari kehidupan keduniaan, sebagaimana tidak ditemukan di tempat lain.

C. BAGAIMANA ALIRAN SUFI LAHIR?
Ketika aliran sufi pertama muncul tidaklah ada ciri khusus mereka yang sangat jelas, tetapi hanya sebuah masalah mulai berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia, dan terus-menerus dalam dzikir (mengingat Alloh) dan membiasakan dengan rasa khouf (takut) yang berlebihan dalam mengingat Alloh yang kadang mengakibatkan seseorang pingsan atau mati ketika mendengar sebuah ayat yang menyebutkan sebuah ancaman adzab/siksa. Hal ini terlihat dalam kisah Zurarah bin Aufa  (hakim Basrah) yang dibacakan: “Ketika sangkakala ditiup.” [Al-Mudatsir 73:8] dalam sholat  Fajr dan dia jatuh meninggal. Kisah yang serupa pada Abu Jahr Al-A’ma, ketika Sholih Al-Murri membacakan qur’an kepada dia dan dia jatuh mati. Selain dari mereka ada yang pingsan ketika mendengar  Al-Qur’an.
Hal seperti ini tidak ditemukan di antara para sahabat, sehingga sekelompok  sahabat dan tabiin seperti Asma’ binti Abi Bakr dan ‘Abdulloh bin Az-Zubair dan Muhammad bin Sirin mengkritik hal tersebut sebab mereka melihat bahwa hal tersebut merupakan bid’ah dan bertentangan dari apa yang mereka ketahui dari cara Sahabat.
Ibnul Jauzi berkata:
“Aliran sufi adalah suatu jalan orang, yang dimulai dari mengabaikan seluruh kehidupan dunia, kemudian mereka yang mengikat diri pada jalan tersebut, mereka terjebak dalam memperbolehkan menyanyi dan menari. Oleh karena itu selanjutnya para pencari akhirat dari orang awam menjadi tertarik kepada mereka karena mereka meninggalkan kehidupan dunia yang mereka wujudkan, dan  pencari akhirat ada juga yang tertarik kepada mereka karena kehidupan yang mudah dan permainan.” [Talbis Iblis hal.161]

D. BERIKUT INI AKAN DIBAWAKAN TENTANG ALASAN KEMUNCULAN ALIRAN SUFI DAN  SUMBER-SUMBER PERKEMBANGANNYA:
1.    Sumber Pertama: beberapa ahli ibadah di antara muslimin memalingkan semua perhatiannya untuk meninggalkan kehidupan dunia dan mengkhususkan diri mereka untuk ibadah. Sumber pertama ini muncul pada zaman Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam ketika beberapa sahabat memutuskan untuk menghabiskan malam untuk bersungguh-sungguh dalam sholat dan meninggalkan tidur. Yang lain memutuskan untuk puasa setiap hari tanpa berbuka. Yang lain memutuskan untuk tidak menikah dengan wanita. Sehingga ketika berita itu sampai pada Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam dia berkata:
“Apa yang terjadi dengan orang yang mengatakan demikian dan demikian. Saya berpuasa tetapi saya berbuka, saya sholat malam tapi saya juga tidur, dan saya menikahi wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka dia bukan golonganku.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Lebih lagi bid’ah kehidupan seperti rohib (rohbaniyah) dilarang dalam  Al-Qur’an. Alloh berkata:
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا
 “…rohbaniyah yang mereka ada-adakan untuk diri mereka…” [Al-Hadid: 27].
Namun ketika  Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam meninggal, dan banyak orang masuk ke dalam Islam dari  agama-agama sebelumnya. Kemudian sekelompok orang berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia dan hal itu dibiarkan tumbuh dan aliran sufi menemukan sebuah tempat di hati-hati orang-orang ini, karena hal itu datang pada tanah yang subur untuk ditanami.

2.    Masalah kedua yang menarik jiwa orang-orang adalah sesuatu yang muncul di antara muslimin dalam bentuk dua ideologi. Satu diantaranya adalah pemahaman filsafat, yang lain adalah agama-agama sebelumnya.
Yang pertama, merupakan sisi pandang dari sekolah filosof yang menyatakan bahwa ma’rifah (pengetahuan) diperoleh dalam jiwa dengan latihan jiwa dan pensucian jiwa.
Ideologi yang kedua, berupa kepercayaan bahwa ketuhanan bersemayam di dalam jiwa manusia, atau keyakinan bahwa ketuhanan hasil reinkarnasi sifat kemanusiaan. Gagasan ini muncul untuk mendapat tempat di antara sekte-sekte bathil yang menisbatkan diri mereka kepada Islam pada masa-masa awal, ketika muslimin bercampur dengan kristen. Gagasan ini muncul di antara Sabaiyah dan sebagian Kaisaniyah, kemudian  Qaramitah, kemudian di antara Batiniyah, kemudian dalam bentuk akhir muncul di antara beberapa pengikut sufi.

3. Ada sumber lain yang diambil, dan yang menyebabkan ada kecenderungan kepada sufi, dimana menurut para pengikut sufiyah bahwa nash-nash Al-Kitab dan Sunnah, itu mempunyai yang zhohir (mempunyai makna tersurat yang jelas) dan yang bathin (pengertian tersirat yang tersembunyi) kelihatan bahwa sangat jelas mereka mengambil gagasan ini dari Bathiniyah.
Sehingga semua jenis gagasan ini dicampur, dimulai dari sikap berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia sampai membuka pintu bid’ah gagasan bahwa ketuhanan bersemayam dalam makhluk, sampai gagasan bahwa semua makhluk adalah satu hakikat, yang merupakan Allah (wihdatul wujud). Dari  percampuran semua pemikiran ini lahir aliran sufi, yang muncul dalam Islam. Aliran ini  berkembang pada abad empat dan lima dan mencapai puncaknya setelah itu, yang semakin jauh dari petunjuk Al-Qur’an Al-Karim dan Sunnah yang murni. Sampai para pengikut aliran sufi menyebut semua yang mengikuti Al-Qur’an dan  Sunnah sebagai  ‘ahli syari’at’ dan ‘ahli tekstual’ (ahlul-dhaahir), sedangkan mereka menyebut  diri mereka  sebagai ‘ahli hakikat’ dan ‘orang yang punya pengetahuan tersembunyi’ (ahlul-batin).

E.  BEBERAPA PONDASI BANGUNAN AQIDAH SUFIYAH
1.    Sufiyah Membuat Perpecahan Dalam Agama
Aliran Sufiyyah mempunyai banyak tarekat (jalan). Antara lain: Tijaniyyah, Qadariyyah, Naqsyabandiyyah, Syadzaliyyah, Rifa’iyyah dan lainnya yang semuanya mengaku diatas jalan yang benar dan menganggap jalan yang lain adalah batil/salah.
Padahal Islam telah melarang adanya perpecahan (membuat jalan baru), seperti firman Allah:
 “…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [QS. Ar-Rum :31-32]

2.    Sufiyyah berdo’a kepada selain Allah yaitu kepada Nabi, para wali yang hidup dan yang telah mati. Mereka berdoa menyeru: “Yaa Jailani! Yaa Rifa’i! Wahai Rasulullah!” dengan tujuan istighatsah dan memohon pertolongan atau dengan ucapan, “Wahai Rasulullah! Engkaulah tempat bersandar.”
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika engkau berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” [Yunus: 106]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Doa itu adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan shahih)
Maka do’a itu adalah ibadah seperti halnya shalat. Kalau shalat tidak boleh ditujukan kepada selain Allah, maka demikian pula doa tidak boleh ditujukan kepada selain Allah, sekalipun kepada Rasul dan para Nabi. Karena hal itu termasuk perbuatan syirik akbar (besar) yang dapat menghapus amal baiknya di dunia, menjadikan pelakunya keluar dari Islam menjadi seorang yang kafir dan pelakunya kekal di neraka.

3.    Aliran Sufi meyakini bahwa di bumi ini ada badal-badal dan kutub-kutub juga wali-wali yang Allah menyerahkan kepada mereka segala urusan dan pemeliharaannya, seperti mencipta, mengatur dan sebagainya.
Padahal orang musyrikin di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak meyakini demikian, sebagaimana yang dikisahkan Allah ketika ditanya siapa pencipta alam ini: “… dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka orang-orang musyrik itu menjawab: Allah.” [Yunus: 31]. Sedang orang-orang sufi itu meyakini bahwa ada selain Allah yang mengatur alam ini. Mereka ini adalah wali-wali Allah menurut mereka.
4.    Aliran Sufi berharap kepada selain Allah ketika ditimpa musibah
Padahal firman Allah:
“… Dan bila kamu ditimpa kemudharatan (musibah), maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [Al-An’am: 17]

5.    Sebagian aliran Sufi meyakini adanya wihdatul wujud (menyatunya hamba dengan Allah)
Sehingga tidak berbeda antara pencipta dan makhluk dan semua makhluk bisa menjadi sesembahan. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Arabi (tokoh sufi) yang telah dikubur di Damaskus, dia mengatakan:
Hamba ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba
Wahai siapa yang dibebani (ibadah)?
Jika saya katakan saya adalah hamba itu betul.
Dan jika saya katakan saya adalah Tuhan, maka bagaimana akan dibebani
Ini adalah kesyirikan akbar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Bagaimana seorang manusia mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, yang berikutnya ia mengatakan bahwa ia terbebas dari kewajiban ibadah (karena ia sudah berkedudukan sebagai Tuhan)?

6.    Aliran sufi menyeru untuk zuhud kepada dunia dan meninggalkan asbab-asbab (dalam memperoleh kebutuhan di dunia)
Mereka berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia sampai kepada batasan terjatuh dalam kerahiban.
At-Tusturi (-283 H) mengatakan: “Seorang sufi adalah orang yang memandang darahnya (jiwanya) itu sia-sia tidak bernilai dan miliknya itu boleh dijamah siapapun.
Abul Husain An-Nuri (-295 H) berkata: Tashawwuf (tasawuf) itu meninggalkan setiap kepentingan jiwa.
Padahal ini menyelisihi firman Allah:
وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
 “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kebutuhan) duniawi.” [Al-Qashash: 77]
Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu pernah memberi nasehat:
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
 “Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak yang harus kamu penuhi. Dirimu juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi. Keluargamu pun juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi. Maka berikanlah hak kepada setiap yang berhak!”
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membenarkan Salman.
[HR. Al-Bukhari dan Muslim]
7.    Pengkultusan /pemujaan syaikh-syaikh dan menyerahkan ketundukan kepada mereka, bersikap ghuluw (berlebihan) kepada mereka.
Bahkan aliran Sufi memberikan kedudukan ihsan kepada Syaikh-Syaikh mereka. Mereka meminta kepada pengikut-pengikutnya untuk membayangkan syaikh-syaikh mereka itu ketika berdzikir kepada Allah, bahkan dalam shalat mereka sekalipun. Pernah seorang dari mereka meletakkan gambar syaikhnya di hadapannya dalam shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Al-Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihat-Mu.
[HR. Muslim]

8.    Aliran Sufi mengatakan bahwa beribadah kepada Allah itu jangan takut neraka-Nya atau mengharap surga-Nya.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Rabi’ah Al-‘Adawiyyah (salah seorang tokoh sufi wanita, yang pekerjaannya adalah sebagai biduawanita):
Ya Allah! Jika aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu maka tenggelamkanlah aku di dalamnya, dan jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu maka haramkanlah aku darinya.
Dan juga pernah pengikut aliran sufi menyanyikan perkataan Abdul Ghani an-Nabilisy:
Barangsiapa beribadah karena takut neraka Allah, berarti dia penyembah api. Dan barangsiapa yang beribadah karena menginginkan surga berarti dia penyembah berhala.
Sementara Allah SWT memuji para Nabi yang mereka itu berdo’a untuk mendapatkan surga Allah dan takut dengan neraka-Nya. Allah SWT berfirman:
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا (90)
 “Sesungguhnya mereka adalah orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas.” [Al-Anbiyaa’: 90]
Maksudnya, mereka sangat mengharapkan surga Allah dan takut (cemas) pada siksa (neraka) Allah.
Allah menerangkan kepada Rasul-Nya :
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (15)
 “Katakanlah: Sesungguhnya aku takut akan azab yang besar (hari kiamat) jika kamu mendurhakai Tuhan-ku.” [Al-An’am: 15]
Ibnu Baththah rahimahullah memperingatkan dari Sufiyah yang menggugurkan dua rukun ibadah, yaitu: rasa takut (khouf) dan rasa harap (roja’), karena mereka mengaku merasa cinta (hubb) dan rindu (syauq) kepada Allah. Beliau berkata tentang Sufiyah:
Mereka ini orang-orang yang punya keinginan yang rendah, dan aturan-aturan agama yang bid’ah (diada-adakan). Mereka menampakkan seolah-olah zuhud. Dan semua penyebab mereka adalah kegelapan. Mereka mengaku rindu dan cinta kepada Allah, dengan menggugurkan khouf (rasa takut) dan roja’ (rasa berharap). Mereka mendengarkan dendangan para pemuda (tampan) dan juga para wanita. Mereka menyanyi, pingsan dan pura-pura pingsan serta pura-pura mati. Semua itu karena akuan mereka sangat rindu dan cinta kepada Allah.[Talbis Iblis hal. 237]

9.    Aliran Sufi membolehkan menari, bermain musik, dan mengeraskan suara ketika berzikir.
Kita dapat menyaksikan pengikut aliran sufi itu berdzikir dengan lafadz Allah saja dan pada akhirnya berdzikir dengan lafadz ‘Hu’ (Dia) saja. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Dzikir yang paling utama adalah Laa Ilaaha Illallah.” [HR. Tirmidzi dengan sanad hasan shahih]. Jadi, tidak dengan ‘Allah’ dan ‘Hu’ saja.
Di dalam berdzikir mereka mengangkat suaranya dengan keras dan bersamaan (koor/berjama’ah), padahal berdo’a seperti itu terlarang berdasarkan firman Allah:
 “Berdo’alah kepada Tuhan-mu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [Al-A’raaf: 55]
Maksudnya Allah tidak menyukai orang yang berlebihan dalam berdo’a dengan terlalu cepat dan dengan suara yang keras. [Lihat Tafsir Jalalain Imam Suyuthi]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para shahabat mengeraskan suaranya dalam berdzikir, maka Beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka :
“Wahai manusia! rendahkanlah suaramu, sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada dzat yang tuli dan tidak ada, tetapi kalian berdo’a kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat dan Allah senantiasa bersamamu.” [HR. Muslim]. Allah bersamamu dengan Pendengaran dan Ilmu-Nya dan Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.
10.Aliran Sufi biasa berdzikir dengan menyebut nama arak (khomer) dan memabukkan
Seperti yang diucapkan oleh seorang penyair Sufi yang bernama Ibnu Farid:
“Kami minum (mabuk) dengan menyebut Yang Tercinta, kami mabuk dengan mudamah sebelum diciptakannya anggur. Ada kelompok Sufi bernyanyi di dalam masjid dengan ucapan syair: “Berilah kami Ar-Raah, tuangkan untuk kami semangkok.”
Ar-Raah dan Al-Mudamah dalam syair ini maksudnya adalah khamer.
Mereka aliran sufi tidak punya malu, berdzikir dengan nama khamer di masjid-masjid Allah yang semestinya masjid digunakan untuk menyebut nama Allah saja, bukannya khamer yang haram itu.
11.Mereka membuka pintu bid’ah (mengada-adakan) dalam agama.
12.Mereka juga menutup pintu amar ma’ruf nahi munkar, dengan alasan tidak mau menentang syaikh, meskipun syaikhnya melakukan perbuatan nista. Karena mereka mengaku bahwa syaikh mereka dapat wahyu dari Allah sebagaimana para nabi. Padahal para nabi pun yang mendapat wahyu, mereka adalah orang yang paling taat kepada syariat Allah dan sangat jauh dari perkara maksiat.
13.Pembagian ilmu menjadi Syari’at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Ta’ala, oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.
Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini)

14.Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” [An-Naml: 65]

15.Keyakinan bahwa Allah Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dari nuur / cahaya-Nya, dan Allah Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. Padahal Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …[Al-Kahfi: 110]
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat’.[Shaad: 71]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar