Madzhab Kontemporer
ALIRAN SUFIYAH
A.
ASAL USUL ALIRAN SUFI
Kata sufi
diambil dari sebuah kata yunani ‘Sophia’ yang bermakna kebijaksanaan.
Dikatakan juga bahwa sufi adalah sebuah kata yang dihubungan dengan memakai pakaian
wol (shuf). Dan perkataan ini adalah yang paling mendekati karena pakaian
wol merupakan tanda kezuhudan mereka (yaitu melepaskan diri dan menjauh dari
kehidupan dunia). Dikatakan bahwa hal ini dilakukan untuk meneladani ‘Isa
bin Maryam ‘alaihis-salaam.
Muhammad bin
Siriin (seorang
tabiin terkenal yang meninggal pada tahun 110 H) disampaikan kepada dia bahwa orang
tertentu memakai pakaian wol untuk meneladani ‘Isa bin Maryam, maka dia
berkata:
إن قوما يتخيرون لباس الصوف يقولون إنهم يتشبهون بالمسيح
بن مريم ، وهدي نبينا أحب إلينا وكان صلى الله عليه وسلم يلبس القطن وغيره ،
“Ada satu kaum yang memilih
dan mengutamakan memakai pakaian wol, mengaku bahwa mereka ingin meneladani
Al-Masih bin Maryam. Tetapi jalan Nabi kita lebih kita cintai, dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai katun dan pakaian lain.”
B. KEMUNCULAN PERTAMA ALIRAN SUFI
Berhubungan
dengan kemunculan pertama kali aliran sufi, kata ‘sufi’ tidak dikenal pada
jaman shahabat, lebih-lebih kata tersebut tidak diketahui dalam tiga generasi
pertama yang terbaik. Istilah tersebut dikenal setelah penghujung tiga generasi
pertama. Kemunculan
pertama aliran sufi di Basrah, ‘Iraq. Dimana beberapa orang ingin
berlebih-lebihan dalam ibadah dan dalam menghindari kehidupan keduniaan,
sebagaimana tidak ditemukan di tempat lain.
C. BAGAIMANA
ALIRAN SUFI LAHIR?
Ketika
aliran sufi pertama muncul tidaklah ada ciri khusus mereka yang sangat jelas,
tetapi hanya sebuah masalah mulai berlebihan dalam meninggalkan kehidupan
dunia, dan terus-menerus dalam dzikir (mengingat Alloh) dan membiasakan dengan
rasa khouf (takut) yang berlebihan dalam mengingat Alloh yang kadang
mengakibatkan seseorang pingsan atau mati ketika mendengar sebuah ayat yang
menyebutkan sebuah ancaman adzab/siksa. Hal ini terlihat dalam kisah Zurarah
bin Aufa (hakim Basrah) yang
dibacakan: “Ketika sangkakala ditiup.” [Al-Mudatsir 73:8] dalam
sholat Fajr dan dia jatuh meninggal. Kisah yang serupa pada Abu Jahr
Al-A’ma, ketika Sholih Al-Murri membacakan qur’an kepada dia dan dia jatuh
mati. Selain dari mereka ada yang pingsan ketika mendengar Al-Qur’an.
Hal seperti
ini tidak ditemukan di antara para sahabat, sehingga sekelompok sahabat
dan tabiin seperti Asma’ binti Abi Bakr dan ‘Abdulloh bin Az-Zubair dan
Muhammad bin Sirin mengkritik hal tersebut sebab mereka melihat bahwa hal
tersebut merupakan bid’ah dan bertentangan dari apa yang mereka ketahui dari
cara Sahabat.
Ibnul Jauzi berkata:
“Aliran sufi
adalah suatu jalan orang, yang dimulai dari mengabaikan seluruh kehidupan
dunia, kemudian mereka yang mengikat diri pada jalan tersebut, mereka terjebak dalam
memperbolehkan menyanyi dan menari. Oleh karena itu selanjutnya para pencari
akhirat dari orang awam menjadi tertarik kepada mereka karena mereka
meninggalkan kehidupan dunia yang mereka wujudkan, dan pencari akhirat
ada juga yang tertarik kepada mereka karena kehidupan yang mudah dan permainan.” [Talbis
Iblis hal.161]
D. BERIKUT INI
AKAN DIBAWAKAN TENTANG ALASAN KEMUNCULAN ALIRAN SUFI DAN SUMBER-SUMBER
PERKEMBANGANNYA:
1. Sumber
Pertama: beberapa
ahli ibadah di antara muslimin memalingkan semua perhatiannya untuk
meninggalkan kehidupan dunia dan mengkhususkan diri mereka untuk ibadah. Sumber
pertama ini muncul pada zaman Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam ketika beberapa
sahabat memutuskan untuk menghabiskan malam untuk bersungguh-sungguh dalam
sholat dan meninggalkan tidur. Yang lain memutuskan untuk puasa setiap hari
tanpa berbuka. Yang lain memutuskan untuk tidak menikah dengan wanita. Sehingga
ketika berita itu sampai pada Nabi Sholallohu ‘Alaihi Wa Sallam dia berkata:
“Apa yang terjadi dengan orang yang
mengatakan demikian dan demikian. Saya berpuasa tetapi saya berbuka, saya
sholat malam tapi saya juga tidur, dan saya menikahi wanita. Barangsiapa
membenci sunnahku, maka dia bukan golonganku.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Lebih lagi bid’ah kehidupan seperti
rohib (rohbaniyah) dilarang dalam Al-Qur’an. Alloh berkata:
وَرَهْبَانِيَّةً
ابْتَدَعُوهَا
“…rohbaniyah yang mereka ada-adakan untuk diri
mereka…” [Al-Hadid:
27].
Namun ketika Nabi Sholallohu
‘Alaihi Wa Sallam meninggal, dan banyak orang masuk ke dalam Islam dari
agama-agama sebelumnya. Kemudian sekelompok orang berlebihan dalam meninggalkan
kehidupan dunia dan hal itu dibiarkan tumbuh dan aliran sufi menemukan sebuah
tempat di hati-hati orang-orang ini, karena hal itu datang pada tanah yang
subur untuk ditanami.
2. Masalah
kedua yang
menarik jiwa orang-orang adalah sesuatu yang muncul di antara muslimin dalam
bentuk dua ideologi. Satu diantaranya adalah pemahaman filsafat, yang lain
adalah agama-agama sebelumnya.
Yang pertama, merupakan
sisi pandang dari sekolah filosof yang menyatakan bahwa ma’rifah (pengetahuan)
diperoleh dalam jiwa dengan latihan jiwa dan pensucian jiwa.
Ideologi yang kedua, berupa
kepercayaan bahwa ketuhanan bersemayam di dalam jiwa manusia, atau keyakinan
bahwa ketuhanan hasil reinkarnasi sifat kemanusiaan. Gagasan ini muncul untuk
mendapat tempat di antara sekte-sekte bathil yang menisbatkan diri mereka
kepada Islam pada masa-masa awal, ketika muslimin bercampur dengan kristen.
Gagasan ini muncul di antara Sabaiyah dan sebagian Kaisaniyah, kemudian
Qaramitah, kemudian di antara Batiniyah, kemudian dalam bentuk akhir muncul di
antara beberapa pengikut sufi.
3. Ada
sumber lain yang diambil, dan yang menyebabkan ada kecenderungan kepada sufi,
dimana menurut para pengikut sufiyah bahwa nash-nash Al-Kitab dan Sunnah, itu mempunyai
yang zhohir (mempunyai makna tersurat yang jelas) dan yang bathin (pengertian
tersirat yang tersembunyi) kelihatan bahwa sangat jelas mereka
mengambil gagasan ini dari Bathiniyah.
Sehingga
semua jenis gagasan ini dicampur, dimulai dari sikap berlebihan dalam
meninggalkan kehidupan dunia sampai membuka pintu bid’ah gagasan bahwa
ketuhanan bersemayam dalam makhluk, sampai gagasan bahwa semua makhluk adalah
satu hakikat, yang merupakan Allah (wihdatul
wujud). Dari percampuran semua pemikiran ini lahir aliran sufi, yang
muncul dalam Islam. Aliran ini berkembang pada abad empat dan lima dan
mencapai puncaknya setelah itu, yang semakin jauh dari petunjuk Al-Qur’an
Al-Karim dan Sunnah yang murni. Sampai para pengikut aliran sufi menyebut semua
yang mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah sebagai ‘ahli syari’at’ dan
‘ahli tekstual’ (ahlul-dhaahir), sedangkan mereka menyebut diri
mereka sebagai ‘ahli hakikat’ dan ‘orang yang punya pengetahuan
tersembunyi’ (ahlul-batin).
E. BEBERAPA
PONDASI BANGUNAN AQIDAH SUFIYAH
1. Sufiyah
Membuat Perpecahan Dalam Agama
Aliran
Sufiyyah mempunyai banyak tarekat (jalan). Antara lain: Tijaniyyah, Qadariyyah,
Naqsyabandiyyah, Syadzaliyyah, Rifa’iyyah dan lainnya yang semuanya mengaku
diatas jalan yang benar dan menganggap jalan yang lain adalah batil/salah.
Padahal Islam telah melarang adanya perpecahan (membuat jalan baru), seperti firman Allah:
Padahal Islam telah melarang adanya perpecahan (membuat jalan baru), seperti firman Allah:
“…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka.” [QS. Ar-Rum :31-32]
2. Sufiyyah
berdo’a kepada selain Allah yaitu kepada Nabi, para wali yang hidup dan yang
telah mati. Mereka
berdoa menyeru: “Yaa Jailani! Yaa Rifa’i! Wahai Rasulullah!” dengan tujuan
istighatsah dan memohon pertolongan atau dengan ucapan, “Wahai Rasulullah! Engkaulah
tempat bersandar.”
Padahal
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
”Dan
janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula
memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika engkau berbuat yang demikian
itu maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang zhalim (musyrik).” [Yunus: 106]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda : “Doa itu
adalah ibadah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan shahih)
Maka do’a
itu adalah ibadah seperti halnya shalat. Kalau shalat tidak boleh ditujukan
kepada selain Allah, maka demikian pula doa tidak boleh ditujukan kepada selain
Allah, sekalipun kepada Rasul dan para Nabi. Karena hal itu termasuk perbuatan
syirik akbar (besar) yang dapat menghapus amal baiknya di dunia, menjadikan pelakunya
keluar dari Islam menjadi seorang yang kafir dan pelakunya kekal di neraka.
3. Aliran Sufi
meyakini bahwa di bumi ini ada badal-badal dan kutub-kutub juga wali-wali
yang Allah menyerahkan kepada mereka segala urusan dan pemeliharaannya, seperti
mencipta, mengatur dan sebagainya.
Padahal
orang musyrikin di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak
meyakini demikian, sebagaimana yang dikisahkan Allah ketika ditanya siapa
pencipta alam ini: “… dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka
orang-orang musyrik itu menjawab: Allah.” [Yunus: 31]. Sedang
orang-orang sufi itu meyakini bahwa ada selain Allah yang mengatur alam ini.
Mereka ini adalah wali-wali Allah menurut mereka.
4. Aliran Sufi
berharap kepada selain Allah ketika ditimpa musibah
Padahal firman Allah:
Padahal firman Allah:
“… Dan bila
kamu ditimpa kemudharatan (musibah), maka tidak ada yang menghilangkannya
melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [Al-An’am: 17]
5. Sebagian
aliran Sufi meyakini adanya wihdatul wujud (menyatunya hamba dengan Allah)
Sehingga
tidak berbeda antara pencipta dan makhluk dan semua makhluk bisa menjadi
sesembahan. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Arabi (tokoh sufi) yang telah dikubur
di Damaskus, dia mengatakan:
Hamba ini
adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba
Wahai siapa
yang dibebani (ibadah)?
Jika saya
katakan saya adalah hamba itu betul.
Dan jika
saya katakan saya adalah Tuhan, maka bagaimana akan dibebani
Ini adalah
kesyirikan akbar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Bagaimana seorang
manusia mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, yang berikutnya ia mengatakan bahwa
ia terbebas dari kewajiban ibadah (karena ia sudah berkedudukan sebagai Tuhan)?
6. Aliran sufi
menyeru untuk zuhud kepada dunia dan meninggalkan asbab-asbab (dalam memperoleh
kebutuhan di dunia)
Mereka
berlebihan dalam meninggalkan kehidupan dunia sampai kepada batasan terjatuh
dalam kerahiban.
At-Tusturi
(-283 H) mengatakan: “Seorang sufi adalah orang yang memandang darahnya
(jiwanya) itu sia-sia tidak bernilai dan miliknya itu boleh dijamah siapapun.”
Abul Husain
An-Nuri (-295 H)
berkata: “Tashawwuf
(tasawuf) itu meninggalkan setiap kepentingan jiwa.”
Padahal ini
menyelisihi firman Allah:
وَلَا تَنْسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
“Dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kebutuhan) duniawi.” [Al-Qashash: 77]
Salman
Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu pernah memberi nasehat:
إِنَّ
لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ
حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya Rabbmu mempunyai
hak yang harus kamu penuhi. Dirimu juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi.
Keluargamu pun juga mempunyai hak yang harus kamu penuhi. Maka berikanlah hak
kepada setiap yang berhak!”
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membenarkan Salman. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membenarkan Salman. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
7. Pengkultusan
/pemujaan syaikh-syaikh dan menyerahkan ketundukan kepada mereka, bersikap
ghuluw (berlebihan) kepada mereka.
Bahkan
aliran Sufi memberikan kedudukan ihsan kepada Syaikh-Syaikh mereka. Mereka
meminta kepada pengikut-pengikutnya untuk membayangkan syaikh-syaikh mereka itu
ketika berdzikir kepada Allah, bahkan dalam shalat mereka sekalipun. Pernah
seorang dari mereka meletakkan gambar syaikhnya di hadapannya dalam shalat,
sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Al-Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihat-Mu.” [HR. Muslim]
“Al-Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak dapat melihat-Nya ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia melihat-Mu.” [HR. Muslim]
8. Aliran Sufi
mengatakan bahwa beribadah kepada Allah itu jangan takut neraka-Nya atau
mengharap surga-Nya.
Hal ini
seperti yang dikatakan oleh Rabi’ah Al-‘Adawiyyah (salah seorang tokoh sufi
wanita, yang pekerjaannya adalah sebagai biduawanita):
“Ya
Allah! Jika aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu maka tenggelamkanlah
aku di dalamnya, dan jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap surga-Mu
maka haramkanlah aku darinya.”
Dan juga
pernah pengikut aliran sufi menyanyikan perkataan Abdul Ghani an-Nabilisy:
“Barangsiapa
beribadah karena takut neraka Allah, berarti dia penyembah api. Dan barangsiapa
yang beribadah karena menginginkan surga berarti dia penyembah berhala.”
Sementara
Allah SWT memuji para Nabi yang mereka itu berdo’a untuk mendapatkan surga
Allah dan takut dengan neraka-Nya. Allah SWT berfirman:
إِنَّهُمْ
كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا (90)
“Sesungguhnya mereka adalah
orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan kebaikan dan mereka berdo’a
kepada Kami dengan harap dan cemas.” [Al-Anbiyaa’: 90]
Maksudnya,
mereka sangat mengharapkan surga Allah dan takut (cemas) pada siksa (neraka)
Allah.
Allah
menerangkan kepada Rasul-Nya :
قُلْ إِنِّي
أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (15)
“Katakanlah: Sesungguhnya aku
takut akan azab yang besar (hari kiamat) jika kamu mendurhakai Tuhan-ku.” [Al-An’am:
15]
Ibnu
Baththah rahimahullah memperingatkan dari Sufiyah yang menggugurkan dua rukun
ibadah, yaitu: rasa takut (khouf) dan rasa harap (roja’), karena mereka mengaku
merasa cinta (hubb) dan rindu (syauq) kepada Allah. Beliau berkata tentang
Sufiyah:
“Mereka ini
orang-orang yang punya keinginan yang rendah, dan aturan-aturan agama yang
bid’ah (diada-adakan). Mereka menampakkan seolah-olah zuhud. Dan semua penyebab
mereka adalah kegelapan. Mereka mengaku rindu dan cinta kepada Allah, dengan
menggugurkan khouf (rasa takut) dan roja’ (rasa berharap). Mereka mendengarkan
dendangan para pemuda (tampan) dan juga para wanita. Mereka menyanyi, pingsan
dan pura-pura pingsan serta pura-pura mati. Semua itu karena akuan mereka
sangat rindu dan cinta kepada Allah.” [Talbis Iblis hal. 237]
9. Aliran Sufi
membolehkan menari, bermain musik, dan mengeraskan
suara ketika berzikir.
Kita dapat
menyaksikan pengikut aliran sufi itu berdzikir dengan lafadz Allah saja dan
pada akhirnya berdzikir dengan lafadz ‘Hu’ (Dia) saja. Padahal Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Dzikir
yang paling utama adalah Laa Ilaaha Illallah.” [HR. Tirmidzi dengan sanad hasan
shahih]. Jadi, tidak
dengan ‘Allah’ dan ‘Hu’ saja.
Di dalam
berdzikir mereka mengangkat suaranya dengan keras dan bersamaan
(koor/berjama’ah), padahal berdo’a seperti itu terlarang berdasarkan firman
Allah:
“Berdo’alah kepada Tuhan-mu
dengan merendahkan diri dan suara yang lembut, sungguh Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas.” [Al-A’raaf: 55]
Maksudnya
Allah tidak menyukai orang yang berlebihan dalam berdo’a dengan terlalu cepat
dan dengan suara yang keras. [Lihat Tafsir Jalalain Imam Suyuthi]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar para shahabat mengeraskan
suaranya dalam berdzikir, maka Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada mereka :
“Wahai
manusia! rendahkanlah suaramu, sesungguhnya kalian tidak menyeru kepada dzat
yang tuli dan tidak ada, tetapi kalian berdo’a kepada Dzat Yang Maha Mendengar
dan Maha Dekat dan Allah senantiasa bersamamu.” [HR. Muslim]. Allah
bersamamu dengan Pendengaran dan Ilmu-Nya dan Allah Maha Mendengar dan Maha
Melihat.
10.Aliran
Sufi biasa berdzikir dengan menyebut nama arak (khomer) dan memabukkan
Seperti yang diucapkan oleh seorang penyair Sufi yang bernama Ibnu Farid:
“Kami minum (mabuk) dengan menyebut Yang Tercinta, kami mabuk dengan mudamah sebelum diciptakannya anggur. Ada kelompok Sufi bernyanyi di dalam masjid dengan ucapan syair: “Berilah kami Ar-Raah, tuangkan untuk kami semangkok.”
Ar-Raah dan Al-Mudamah dalam syair ini maksudnya adalah khamer. Mereka aliran sufi tidak punya malu, berdzikir dengan nama khamer di masjid-masjid Allah yang semestinya masjid digunakan untuk menyebut nama Allah saja, bukannya khamer yang haram itu.
Seperti yang diucapkan oleh seorang penyair Sufi yang bernama Ibnu Farid:
“Kami minum (mabuk) dengan menyebut Yang Tercinta, kami mabuk dengan mudamah sebelum diciptakannya anggur. Ada kelompok Sufi bernyanyi di dalam masjid dengan ucapan syair: “Berilah kami Ar-Raah, tuangkan untuk kami semangkok.”
Ar-Raah dan Al-Mudamah dalam syair ini maksudnya adalah khamer. Mereka aliran sufi tidak punya malu, berdzikir dengan nama khamer di masjid-masjid Allah yang semestinya masjid digunakan untuk menyebut nama Allah saja, bukannya khamer yang haram itu.
11.Mereka
membuka pintu bid’ah (mengada-adakan) dalam agama.
12.Mereka
juga menutup pintu amar ma’ruf nahi munkar, dengan alasan tidak mau menentang
syaikh, meskipun syaikhnya melakukan perbuatan nista. Karena mereka mengaku
bahwa syaikh mereka dapat wahyu dari Allah sebagaimana para nabi. Padahal para
nabi pun yang mendapat wahyu, mereka adalah orang yang paling taat kepada
syariat Allah dan sangat jauh dari perkara maksiat.
13.Pembagian
ilmu menjadi Syari’at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan
hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah
Ta’ala, oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam
agama ini.
Tidak
diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahwasanya perkataan tersebut termasuk
sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan
Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian dari
isi Al Kitab dan kafir dengan sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang
kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada
martabat hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama
ini)
14.Keyakinan
bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang
tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Ta’ala dustakan mereka dalam
firman-Nya:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
“Katakanlah
tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib
kecuali Allah.” [An-Naml: 65]
15.Keyakinan
bahwa Allah Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dari
nuur / cahaya-Nya, dan Allah Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wassalam. Padahal Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
“Katakanlah
(Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian,
yang diwahyukan kepadaku …” [Al-Kahfi: 110]
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar