Laman

Minggu, 03 Maret 2013

IMAN DALAM AL-QUR'ANUL KARIM (METODE TAFSIR MAUDHU'I)

IMAN DALAM AL-QUR'ANUL KARIM
(METODE TAFSIR MAUDHU'I/ TAFSIR TEMATIK)

BAB I
PENDAHULUAN
Allah swt telah menciptakan manusia dan mengutus para rasulNya untuk mengajak manusia beriman dan beribadah kepadaNya semata. Kemudian Dia akan memberikan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan.
Iman yang sempurna mencakup membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. Iman memiliki enam rukun, yaitu: Iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir, dan iman kepada qadha’ dan qadar. Demikian juga, iman memiliki lebih dari 72 cabang. Keimanan tersebut dasarnya adalah keyakinan yang disertai dengan kecintaan dan ketundukan terhadap segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dari Allah swt.


BAB II
URGENSI IMAN
a.    Menyadari akan adanya kekuatan sangat besar yang tidak mampu dicapai oleh akal, tetapi mampu untuk diyakini, yaitu Allah swt Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.
b.    Mendorong orang untuk selalu mengerjakan amal baik dan menjauhi amal buruk karena meyakini Allah Maha Tahu dan Maha Melihat.
c.    Menjadi pondasi paling utama dalam melakukan amal perbuatannya sehingga amal baik yang dilakukannya diterima di sisi Allah.


BAB III
PEMBAHASAN TENTANG IMAN      

Pasal 1
MAKNA IMAN
1.    DEFINISI IMAN
Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah
تصديق بالقلب واقرار باللسان وعمل بالاركان
“Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.”
Ini adalah pendapat Jumhur. Dan Imam asy-Syafi’i meriwayatkan ijma’ para sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka yang sezaman dengan beliau atas pengertian tersebut.
Allah swt berfirman:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan RasulNya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” [QS. Al-Hujurat: 15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan iman yang sebenarnya adalah orang-orang yang membenarkan Allah swt dan rasulNya, kemudian tidak ragu-ragu dan tidak goncang, bahkan mereka mantap pada satu sikap dan mau mengorbankan jiwa dan harta benda mereka yang paling mahal demi ketaatan kepada Allah dan mengharapkan ridhaNya. Mereka itulah orang-orang yang benar dalam mengatakan Amanna (kami beriman). Bukan seperti sebagian orang Badui yang iman mereka hanyalah kata-kata yang lahir saja, sedang mereka masuk agama hanya karena takut terhadap pedang supaya darah dan harta mereka terpelihara.[1]
Boleh jadi, timbul dalam benak sementara orang Badui bahwa mereka telah mencapai peringkat mukmin sempurna itu, padahal sebenarnya tidak demikian, bahkan dalam satu riwayat dinyatakan bahwa beberapa orang di antara mereka bersumpah bahwa mereka benar-benar telah beriman.[2]

2.    PENJELASAN DEFINISI IMAN
“Membenarkan dengan hati” maksudnya, menerima segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
“Mengikrarkan dengan lisan” maksudnya, mengucapkan dua kalimat syahadat, “La ilaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah” (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah swt, dan bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah swt).
“Mengamalkan dengan anggota badan” maksudnya, hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, sedang anggota badan mengamalkannya dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya.
Kaum salaf rahimahullah, menjadikan amal termasuk dalam pengertian iman. Dengan demikian, iman itu bisa bertambah dan berkurang seiring dengan bertambah dan berkurangnya amal shalih.
Firman Allah,
وَمَا جَعَلْنَآ أَصْحَٰبَ ٱلنَّارِ إِلَّا مَلَٰٓئِكَةًۭ ۙ وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةًۭ لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لِيَسْتَيْقِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ وَيَزْدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِيمَٰنًۭا ۙ وَلَا يَرْتَابَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۙ وَلِيَقُولَ ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌۭ وَٱلْكَٰفِرُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًۭا ۚ
Dan tiada kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi al-Kitab dan orang-orang mukmin tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" [QS. Al-Muddatstsir: 31]

Bagaimana Dalil Tersebut Menunjukkan bahwa Iman Dapat Bertambah dan Berkurang?
Di dalamnya terdapat penetapan bertambahnya iman orang-orang mukmin, yaitu dengan persaksian mereka akan kebenaran nabi mereka, terbuktinya kabar berita yang dibawanya sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab samawi sebelumnya.


Pasal 2
HAKIKAT IMAN
Allah swt berfirman,
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ حَقًّۭا ۚ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” [QS. Al-Anfal: 2-4]
            Dalam ayat-ayat yang pertama Allah menyebutkan orang-orang yang lembut hatinya dan takut kepada Allah ketika nama-Nya disebut, keyakinan mereka bertambah dengan mendengar ayat-ayat Allah. Mereka tidak mengharapkan kepada selain-Nya, tidak menyarahkan hati mereka kecuali kepada-Nya, tidak pula meminta hajat kecuali kepada-Nya. Mereka mengetahui, Dialah semta yang mengatur kerjaan-Nya tanpa ada sekutu. Mereka menjaga pelaksanaan seluruh ibadah fardhu dengan memenuhi syarat, rukun dan sunnahnya. Mereka adalah orang mukmin yang benar-benar beriman. Allah menjanjikan mereka derajat yang tinggi disisi-Nya, sebagaimana mereka juga memperoleh pahala dan ampunan-Nya.


Pasal 3
RUKUN IMAN DAN CABANG-CABANGNYA

1.    RUKUN-RUKUN IMAN
اركان  bentuk jama’ dari  ركن الشي ٬ ركن  berarti sisi sesuatu yang paling kuat. Sedang yang dimaksud rukun iman adalah sesuatu yang menjadi sendi tegaknya iman.
Rukun iman ada enam:
1.    Iman kepada Allah swt.
2.    Iman kepada para malaikat.
3.    Iman kepada kitab-kitab samawiyah.
4.    Iman kepada para rasul.
5.    Iman kepada Hari Akhir
6.    Iman kepada takdir Allah swt, yang baik maupun yang buruk.
Dalilnya adalah jawaban Rasulullah, ketika jibril bertanya padanya tentang iman:
“Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada Hari Akhir dan engkau beriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk.” [HR. Al-Bukhari 1/19,20 dan Muslim, I/37]

2.    CABANG-CABANG IMAN
الشعب adalah bentuk jama’ dari شعبة yang artinya segolongan dan sekolompok dari sesuatu. Sedangkan شعب الايمان adalah cabang-cabang iman yang bermacam-macam, jumlahnya banyak, lebih dari 72 cabang. Dalam hadits lain disebutkan bahwa cabang-cabangnya lebih dari 70 buah.
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa cabang yang paling utama adalah tauhid, yang wajib bagi setiap orang, yang mana tidak satupun cabang iman itu menjadi sah kecuali sesudah sahnya tauhid tersebut. Adapun cabang iman yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu kaum muslimin, di antaranya dengan menyingkirkan duri atau batu dari jalan mereka. 
       Sebagian dari cabang-cabang iman yang lain yaitu berupa rukun dan ushul, yang dapat menghilangkan iman manakala ia ditinggalkan, seperti mengingkari adanya Hari Akhir dan sebagiannya lagi ada yang bersifat furu’, yang apabila meninggalkannya tidak membuat hilangnya iman, sekalipun tetap menurunkan kadar iman dan membuat fasik, seperti tidak memuliakan tetangga.


Pasal 4
SIFAT-SIFAT ORANG BERIMAN[3]

Allah swt berfirman:
يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan RasulNya.” [QS. At-Taubah: 71]
Di dalam ayat ini, Allah menyifati kaum Mu’minin dengan lima sifat yang sama sekali berlainan dengan sifat kaum munafik, yaitu:
Pertama: Mereka menyuruh melakukan perbuatan yang ma’ruf, sedangkan kaum munafik menyuruh mereka melakukan perbuatan yang munkar.
Kedua: Mereka mencegah melakukan perbuatan yang munkar, sedangkan kaum munafik mencegah melakukan perbuatan yang ma’ruf.
Sifat yang pertama dan kedua ini, merupakan pagar segala keutamaan dan benteng penghalang tersebarnya berbagai keburukan.
Ketiga: Mereka melaksanakan shalat dengan sebaik dan sesempurna mungkin, dengan khusyu’, menyerahkan diri kepada Allah swt, dan menghadirkan kalbu di dalam bermunajat kepadaNya. Sedangkan orang-orang munafik, jika mereka melaksanakan shalat, maka mereka melaksanakannya dengan bermalas-malasan dan riya’ terhadap manusia.
Keempat: Mereka mengeluarkan zakat yang diwajibkan atas mereka dan sedekah tatawwu’ (sukarela) yang mereka diberkati untuk itu. Sedangkan kaum munafik, melaksanakan shalat, namun mereka tidak menegakkannya; dan meskipun mereka menunaikan zakat serta mengeluarkan infak, namun mereka melakukannya karena takut dan riya’, bukan karena ketaatan kepada Allah swt.
Kelima: Mereka terus-menerus melakukan ketaatan, dengan meninggalkan segala laranganNya dan mengerjakan segala perintahNya menurut kemampuan mereka. Sedangkan, orang-orang munafik melakukan kefasikan dan keluar dari lingkaran ketaatan.


Pasal 5
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN IMAN

Pembatal iman atau “nawaqidhul imanadalah sesuatu yang dapat menghapuskan iman, sesudah iman masuk didalamnya, yaitu:
1.    Mengingkari rububiyah Allah swt atau sesuatu dari kehususan-kehususanNya, atau mengaku memiliki sesuatu dari kekhususan tersebut atau membenarkan orang yang mengakuinya.
Allah swt berfirman,
وَقَالُوا۟ مَا هِىَ إِلَّا حَيَاتُنَا ٱلدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ إِلَّا ٱلدَّهْرُ ۚ وَمَا لَهُم بِذَٰلِكَ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.“ [QS. Al-Jatsiyah: 24]

2.    Sombong serta menolak beribadah kepada Allah swt
Allah swt berfirman,
لَّن يَسْتَنكِفَ ٱلْمَسِيحُ أَن يَكُونَ عَبْدًۭا لِّلَّهِ وَلَا ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ ٱلْمُقَرَّبُونَ ۚ وَمَن يَسْتَنكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِۦ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًۭا{172ْ}  فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِۦ ۖ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ ٱسْتَنكَفُوا۟ وَٱسْتَكْبَرُوا۟ فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًۭا وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَلِيًّۭا وَلَا نَصِيرًۭا{173}
 “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembahNya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepadaNya. Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal shalih, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karuniaNya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung, dan penolong selain daripadaNya.“ [QS. An-Nisaa’: 172-173]

3.    Menjadikan perantara dan penolong yang ia sembah atau ia mintai (pertolongan) selain Allah swt
Allah swt berfirman,
وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا لَا يَعْلَمُ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ سُبْحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami disisi Allah. Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahuiNya, baik dilangit dan tidak pula dibumi?’ Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).“ [QS. Yunus: 18]

4.    Menolak sesuatu yang ditetapkan Allah swt untuk diriNya atau yang ditetapkan oleh rasulNya. Begitu pula orang yang menyifati seseorang (makhluk) dengan sesuatu sifat yang khusus bagi Allah swt, seperti ilmu Allah swt. Termasuk juga menetapkan sesuatu yang dinafikan Allah swt dari diriNya atau yang telah dinafikan dariNya oleh Rasullah SAW. Allah swt berfirman kepada rasulNya,
قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ . ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ . لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ . وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ .
“Katakanlah, ‘Dialah Allah yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.“ [QS. Al-Ikhlas: 1-4]


Pasal 6
CONTOH-CONTOH ORANG YANG BERIMAN
1.    Allah swt berfirman:
وَضَرَبَ ٱللَّهُ مَثَلًۭا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱمْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ٱبْنِ لِى عِندَكَ بَيْتًۭا فِى ٱلْجَنَّةِ وَنَجِّنِى مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِۦ وَنَجِّنِى مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Firaun, ketika dia berkata: “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” [QS. At-Tahrim: 11]
Doa istri Fir’aun ini dan sikapnya merupakan teladan dalam mengatasi segala kenikmatan hidup duniawi yang mempesona. Namun, dia dapat mengatasi dan menguasai segala hal itu dengan keimanannya. Dia bukan hanya berpaling dari kenikmatan itu, namun dia menganggapnya sebagai sesuatu yang keji, kotor, dan ujian yang mengharuskannya untuk berlindung kepada Allah swt, terhindar dari segala kekejiannya, dan memohon keselamatan dariNya. Dia adalah satu-satunya wanita beriman di kerajaan itu. Namun, walaupun sendirian di tengah-tengah tekanan masyarakat, tekanan istana, tekanan pengawal, dan kedudukan raja, dia tetap mengharap kepada Rabbnya.[4]

2.    Allah swt berfirman:
وَمَرْيَمَ ٱبْنَتَ عِمْرَٰنَ ٱلَّتِىٓ أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَٰتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِۦ وَكَانَتْ مِنَ ٱلْقَٰنِتِينَ
“dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitabNya; dan dia termasuk orang-orang yang taat.” [QS. At-Tahrim: 12]
Sesungguhnya Maryam juga merupakan teladan dalam memurnikan diri kepada Allah swt. Allah swt membebaskan Maryam dari segala tuduhan dari kaum Yahudi. Dari tiupan roh itulah, Isa a.s. terbentuk sebagai manusia, dan menjadi bukti kebesaran Allah swt.[5]

Sebutan secara khusus tentang istri Fir’aun bersama Maryam disini menunjukkan kedudukannya yang tinggi, yang membuat istri Fir’aun layak disebutkan bersama Maryam. Hal ini disebabkan oleh ujian yang menimpa kehidupannya. Dua wanita ini, merupakan teladan dan contoh bagi wanita mu’minah yang suci, membenarkan, percaya, dan taat kepada Allah swt.


Pasal 7
DAMPAK MAKSIAT TERHADAP IMAN

Maksiat adalah lawan ketaatan, baik itu dalam bentuk meninggalkan perintah maupun melakukan suatu larangan. Sedangkan iman, sebagaimana telah kita ketahui adalah 70 cabang lebih, yang tertinggi adalah ucapan “laailaaha illallah“ dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dijalan. Jadi cabang-cabang ini tidak bernilai atau berbobot sama, baik yang berupa mengerjakan (kebaikan) maupin menininggalkan (larangan). Karena itu maksiat juga berbeda-beda. Dan maksiat berarti keluar dari ketaatan. Jika ia dilakukan karena ingkar atau mendustakan maka ia bisa membatalkan iman. Sebagaimana Allah swt menceritakan tentang Fir’aun dengan firmanNya,

فَكَذَّبَ وَعَصَىٰ
“Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.” [QS. An-Nazi’at: 21]
Dan terkadang maksiat itu tidak sampai kepada derajat tersebut sehingga tidak membuatnya keluar dari iman, tetapi memperburuk dan mengurangi iman. Maka siapa yang melakukan dosa besar seperti berzina, mencuri, meminum minuman yang memabukkan atau sejenisnya, tetapi tanpa meyakini kehalalannya maka hilanglah rasa takut, khusyu’, dan cahaya dalam hatinya; sekalipun pokok pembenaran dan iman tetap ada di hatinya.
Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan pengaruh maksiat atas iman, yaitu bahwasannya iman itu seperti pohon besar yang rindang. Akar-akarnya adalah tashdiq (kepercayaan) yang dengan akar itulah ia hidup, sedangkan cabang-cabangnya adalah amal perbuatannya. Dengan cabang itulah kelestarian dan hidupnya terjamin. Semakin bertambah cabangnya, maka semakin bertambah dan sempurna pohon itu, dan jika berkurang maka buruklah pohon itu. Lalu jika berkurang terus sampai tidak tersisa cabang maupun batangnya, maka hilanglah nama pohon itu. Manakala akar-akar itu tidak mengeluarkan batang-batang dan cabang-cabang yang bisa berdaun, maka keringlah akar-akar itu dan hancurlah ia dalam tanah.


BAB IV
BERIMAN KEPADA ALLAH

Yaitu keyakinan yang sesungguhnya bahwa Allah swt adalah wahid (satu), ahad (esa), fard (sendiri), shamad (tempat bergantung) tidak mengambil shahibah (teman wanita atau istri) juga tidak memiliki walad (seorang anak). Dia adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu, tidak ada sekutu dalam kerajaanNya. Dialah al-Khaliq (Yang Menciptakan), ar-Raziq (Pemberi Rizki), al-Mu’thi (Pemberi Anugerah), al-Mani’ (Yang Menahan Pemberian), al-Muhyi (Yang Menghidupkan), al-Mumit (Yang Mematikan), dan yang mengatur segala urusan makhlukNya.
Dialah yang berhak disembah, bukan yang lain, dengan segala macam ibadah, seperti khudhu’ (tunduk), khusyu’, khasyyah (takut), inabah (taubat), qashd (niat), thalab (memohon), do’a, menyembelih, nadzar, dan sebagainya.
Termasuk beriman kepada Allah swt  adalah beriman dengan segala apa yang Dia kabarkan dalam kitab suciNya atau apa yang diceritakan oleh RasulNya SAW tentang Asma’ dan sifat-sifatNya dan bahwasanya Dia tidak sama dengan MakhlukNya, dan bagiNya kesempurnaan mutlak dalam semua hal tersebut, dengan menetapkan tanpa tamtsil (menyerupakan) dan dengan menyucikannya tanpa ta’thil (menghilangkan maknanya) sebagaimana Dia mengabarkan tentang diriNya dengan firmanNya,
بَدِيعُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُۥ وَلَدٌۭ وَلَمْ تَكُن لَّهُۥ صَٰحِبَةٌۭ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَىْءٍۢ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۭ  ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمْ ۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ خَٰلِقُ كُلِّ شَىْءٍۢ فَٱعْبُدُوهُ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ وَكِيلٌۭ
“Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Yang memiliki sifat-sifat khusus) demikian itu adalah Allah, Rabb kalian, tidak ada sembahan yang haq selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.” [QS. Al-An’am: 101-102]

Tafsir dari QS. Al-An’am: 101, yaitu:[6]
Firman Allah swt, بَدِيعُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ  “Dia Pencipta langit dan bumi.” Maksudnya  adalah pencipta langit dan bumi. Maka, bagaimana mungkin dia memiliki anak.
Firman Allah swt, أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُۥ وَلَدٌۭ  “Bagaimana Dia mempunyai anak.” Maksudnya adalah dari mana Dia mempunyai anak, sedangkan anak setiap sesuatu serupa dengan sesuatu tersebut, sementara tidak ada yang menyerupaiNya.
Firman Allah swt, وَلَمْ تَكُن لَّهُۥ صَٰحِبَةٌۭ  “Padahal Dia tidak mempunyai isteri.” Kata صَٰحِبَةٌ  artinya isteri.
Firman Allah swt, وَخَلَقَ كُلَّ شَىْءٍۢ  “Dia menciptakan segala sesuatu.” Adalah lafazh umum yang bermakna khusus. Maksudnya adalah Dia menciptakan alam. Tidak termasuk di dalamnya firmanNya dan sifat-sifatNya.

Tafsir dari QS. Al-An’am: 102, yaitu:[7]
Firman Allah swt, ذَٰلِكُمُ ٱللَّهُ رَبُّكُمْ ۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ  “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.” Lafazh ذَٰلِكُمُ  berada pada posisi rafa’ sebagai mubtada’, sementara ٱللَّهُ رَبُّكُمْ  sebagai badal.
Firman Allah swt, خَٰلِقُ كُلِّ شَىْءٍۢ  sebagai khabar mubtada’. Boleh juga رَبُّكُمْ  sebagai khabar dan خَٰلِقُ sebagai khabar kedua atau khabar mubtada’ tersembunyi, yaitu خَٰلِقُ هُو .


BAB V
BERIMAN KEPADA MALAIKAT

1.    DEFINISI MALAIKAT
Menurut bahasa  ملائكةadalah bentuk jama’ dariملك . Menurut suatu pendapat ia berasal dari kataألوكة  yang bermakna  الرسالة(Pengutusan) dan ada yang menyatakan dari لأك yang bermakna ارسل (Mengutus) dan adapula yang berpendapat selain dari keduanya.
Adapaun menurut istilah, ia adalah salah satu jenis makhluk Allah yang Dia ciptakan khusus untuk taat dan beribadah kepadaNya serta mengerjakan semua tugas-tugasNya. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt dalam firmanNya,
وَلَهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَمَنْ عِندَهُۥ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِۦ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ {19} يُسَبِّحُونَ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ {20}
“Dan kepunyaanNya-lah segala yang di langit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang disisiNya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untu menyembahNya dan tiada (pula) mereka letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” [QS. Al-Anbiya’: 19-20]

2.    BERIMAN KEPADA MALAIKAT
Iman kepada malaikat adalah rukun iman yang kedua. Maksudnya yaitu meyakini secara pasti bahwa Allah swt mempunyai para malaikat yang diciptakan dari nur, tidak pernah mendurhakai apa yang Allah swt perintahkan kepada mereka dan mengerjakan setiap yang Allah swt titahkan kepada mereka.
Dalil yang mewajibkan beriman kepada malaikat:
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah,
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ
“Rasul telah beriman kepada Al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasul-Nya...” [QS. Al-Baqarah: 285]
Allah menjadikan iman ini sebagai akidah seorang mukmin.


BAB VI
BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH

1.    DEFINISI
Secara bahasa,  كتبadalah bentuk jama’ dariكتاب . Sedangkan kitab adalah mashdar yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang ditulisi di dalamnya. Ia pada awalnya adalah nama shahifah (lembaran) bersama tulisan yang ada di dalamnya.
Sedangkan menurut syariat,  كتبadalah kalam Allah swt yang diwahyukan kepada rasul-rasulNya agar mereka menyampaikannya kepada manusia dan membacanya bernilai ibadah.

2.    BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB
Beriman kepada kitab-kitab Allah swt adalah salah satu rukun iman. Maksudnya yaitu membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa Allah swt mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-hambaNya dengan kebenaran yang nyata dan petunjuk yang jelas. Dan bahwasannya ia adalah kalam Allah swt yang Dia firmankan dengan sebenarnya, seperti apa yang Dia kehendaki dan menurut apa yang Dia ingini.
Allah swt berfirman,
يُنَزِّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةَ بِٱلرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِۦ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦٓ
 “Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintahNya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya...” [QS. An-Nahl: 2]
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah,
قُولُوٓا۟ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ إِبْرَٰهِۦمَ وَإِسْمَٰعِيلَ وَإِسْحَٰقَ وَيَعْقُوبَ وَٱلْأَسْبَاطِ وَمَآ أُوتِىَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ أُوتِىَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍۢ مِّنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya.” [QS. Al-Baqarah: 136]
            Segi istidlalnya adalah Allah swt memerintahkan orang-orang mukmin agar beriman kepadaNya dan kepada apa yang telah Dia turunkan kepada mereka melalui nabi mereka, Muhammad SAW yaitu al-Qur’an dan agar beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada para nabi SAW dari Tuhan mereka tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain, karena tunduk kepada Allah swt serta membenarkan apa yang diberitakanNya.


BAB VII
BERIMAN KEPADA PARA RASUL

1.   DEFINISI
Rasul secara bahasa adalah orang yang mengikuti berita-berita orang yang mengutusnya. Rasul adalah nama bagi risalah atau bagi yang diutus. Sedangkan irsal adalah pengarahan.
Menurut istilah rasul ialah seorang laki-laki merdeka yang diberi wahyu oleh Allah swt dengan membawa syariat dan ia di perintahkan untuk menyampaikannya kepada umatnya, baik orang yang tidak ia kenal dan memusuhinya.

2.   BERIMAN KEPADA SEGENAP RASUL
Beriman kepada segenap rasul artinya membenarkan dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah swt mengutus seorang rasul pada setiap umat untuk mengajak mereka beribadah kepada Allah swt semata tanpa menyekutukanNya dan untuk kufur kepada sesembahan selainNya. Serta kepercayaan bahwa semua rasul adalah benar, mulia, luhur, mendapat petunjuk serta menunjuki orang lain. Mereka telah menyampaikan apa yang karenanya mereka diutus oleh Allah swt, tanpa menyembunyikan atau mengubahnya. Allah swt berfirman:
فَهَلْ عَلَى ٱلرُّسُلِ إِلَّا ٱلْبَلَٰغُ ٱلْمُبِينُ {35} وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ ٱلضَّلَٰلَةُ ۚ فَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ{36}
…maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jahuilah thagut itu,’ maka di antara umat itu ada orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasu)l.” [QS. An-Nahl: 35-36]




BAB VIII
BERIMAN PADA HARI AKHIR

Beriman kepada hari Akhir adalah rukun kelima dari rukun-rukun iman. Artinya ialah meyakini dengan pasti kebenaran setiap hal yang diberitakan oleh Allah swt dalam kitab suciNya dan setiap hal yang diberitakan oleh rasulNya mulai dari apa yang terjadi sesudah mati, fitnah kubur, adzab dan nikmat kubur, dan apa yang terjadi sesudah itu seperti kebangkitan dari kubur, tempat berkumpul di akhirat (Mahsyar), catatan amal (Shuhuf), perhitungan (Hisab), timbangan (Mizan), telaga (Haudh), titian (Shirath), pertolongan (Syafa’ah), surga dan neraka serta apa-apa yang dijanjikan Allah swt bagi para penghuninya.
Firman Allah,
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًۭا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [QS. Al-Baqarah: 62]
           

BAB IX
BERIMAN KEPADA QADHA’ DAN QADAR

1.    DEFINISI QADHA’ DAN QADAR
Qadha’ menurut bahasa memiliki beberapa makna yang berbeda menurut perbedaan struktur kalimatnya, diantaranya berarti:
a.    Hukum,  حكمartinya  قضى  يقضى  قضاءmenghukumi, memutuskan.
b.    Perintah, seperti firman Allah swt,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali hanya kepadaNya.” [QS. Al-Isra’: 23]
c.    Kabar, seperti firman Allah,
وَقَضَيْنَآ إِلَيْهِ ذَٰلِكَ ٱلْأَمْرَ أَنَّ دَابِرَ هَٰٓؤُلَآءِ مَقْطُوعٌۭ مُّصْبِحِينَ
“Dan telah Kami kabarkan (wahyukan) kepadanya (Nabi Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu shubuh.“ [QS. Al-Hijr: 66]
Sedangkan yang dimaksud disini ialah arti yang pertama.
Adapun Qadar, maka ia adalah takdir, yaitu menentukan atau membatasi ukuran segala sesuatu sebelum terjadinya dan menulisnya di Lauhul Mahfuzh. Allah swt berfirman,
وَقَدَّرَ فِيهَآ أَقْوَٰتَهَا
 “...dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya...” (QS. Al-Fushshilat: 10).

2.   BERIMAN KEPADA QADHA’ ALLAH SWT & QADARNYA
 Beriman kepada qadha’ dan qadar Allah adalah rukun keenam dari rukun iman. Makna beriman kepada qadar ialah membenarkan dengan sesungguhnya bahwa yang terjadi (baik dan buruk) itu adalah atas qadha’ dan qadar Allah swt. Seperti firmanNya,
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍۢ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ {22} لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍۢ فَخُورٍ{23}
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadid: 22-23]
Ayat-ayat tersebut membuktikan bahwa segala yang terjadi pada alam semesta dan pada jiwa manusia, yang baik maupun yang buruk, semua itu sudah ditakdirkan oleh Allah swt dan ditulis sebelum diciptakannya makhluk. Maka apa yang tidak didapatkannya dari sesuatu yang disukai tidak mengharuskan rasa susah, dan apa yang didapatkan dari kebaikan tidak mengharuskan rasa suka.


BAB X
BUAH IMAN
a.    Sesungguhnya iman kepada Allah itu adalah kehidupan hati, memasok kekuatan kepadanya untuk menaiki tangga kesempurnaan. Ia adalah pendorong bagi jiwa agar menghiasi diri dengan budi pekerti yang baik, jauh dari kehidupan dan hal-hal yang tidak berguna. Sebagaimana Allah berfirman,
أَوَمَن كَانَ مَيْتًۭا فَأَحْيَيْنَٰهُ وَجَعَلْنَا لَهُۥ نُورًۭا يَمْشِى بِهِۦ فِى ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ لَيْسَ بِخَارِجٍۢ مِّنْهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَٰفِرِينَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidk dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang kafir itu memandang baik apa yang telah mmereka kerjakan.” [QS. Al-An’am: 122]

b.    Sesungguhnya iman itu adalah sumber ketenangan dan kedamaian bagi setiap orang. Karena itu sejalan dengan fitrah dan seiring dengan tabiatnya. Ia adalah sumber kenyamanan dan kebahagiaan bagi masyarakat, karena ia mengukuhkan ikatan-ikatan masyarakat, mengencangkan tali kekeluargaan dan membersihkan perasaan-perasaan, dan dengan itu semua masyarakat menggapai kemuliaan (fadhilah). Dan fadhilah itu adalah nikmat kerelaan (ridha) dalam segala hal, dalam kondisi lapang atau sempit, muda atau sulit serta manis atau pahit karena beriman kepada qadha’ Allah dan hikmahNya. Sebagaimana firman Allah,
وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 216]
Maka orang mukmin yang menjiwai dan merasakan buah dari iman akan tenang hatinya, enak badan dan jiwanya. Kehidupannya penuh dengan kebahagiaan, dinaungi oleh perasaan ridho dan damai, serta merasa tenang atas rahmat Allah dan keadilanNya, karena Dia adalah tumpuan harapannya, benteng perlindungannya, permata hatinya dan kenyamanan imannya.

c.    Menampakkan kemuliaan (izzah) dan kekebalan (mana’ah). Orang yang beriman percaya bahwa dunia adalah mazra’atul akhirah (ladang untuk akhirat), seperti firman Allah,
وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍۢ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌۭ
“Dan dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu  usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al-Baqarah: 110)
Dari sini kita mengetahui dengan jelas bagaimana tugas-tugas berat dan agung bisa terwujud melalui tangan Rasulullah SAW dan tangan-tangan para sahabatnya. Sesungguhnya seluruh kekuatan bumi tidak mampu menghadang orang yang hatinya dipenuhi oleh pancaran iman, amalnya didasarkan pada pengawasan Allah dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan akhirnya. Kita juga memahami bagaimana para rasul dan para nabi dimana mereka sendirian menghadapi kaum dan umatnya yang bersatu, mereka tidak mempedulikan jumlah manusia dan kekuatannya. Dalam sejarah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Hud a.s. terdapat sikap yang dapat menjelaskan dan menampakkan kekuatan iman yang sebenarnya.

d.    Bersemangat, giat serta rajin bekerja. Sesungguhnya orang yang telah beriman kepada qadha’ Allah dan qadharNya, mengetahui kaitan antara sebab dan akibat, mengerti nilai amal, kedudukan dan keutamaannya ia akan mengetahui bahwa diantara taufik Allah bagi manusia adalah petunjukNya untuk mengupayakan sebab-sebab yang dapat mengantarkan kepada tujuan. Dan dia tidak akan berputus asa apabila ada sesuatu yang tidak dia capai, sebagaimana dia tidak akan lupa diri dan sombong apabila berhasil meraih keuntungan dunia, sebagai wujud dari iman kepada firman Allah.
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍۢ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ {22} لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍۢ فَخُورٍ{23}
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadid: 22-23]


BAB XI
PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, maka beriman kepada seluruh rukun merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan, sebagiannya terkait dengan sebagian yang lain. Pengaruh masing-masing rukun iman adalah berarti berpengaruh kepada rukun iman yang lain. Oleh karena itu, dalam realisasinya, satu rukun dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Begitupula pengaruhnya terhadap pribadi dan jama’ah, tidak dapat dipisahkan. Sebab individu adalah batu permata bagai terbentuknya bangunan masyarakat.


Wallahua’lam bis showab.  





DAFTAR PUSTAKA


Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maragi, jil. X dan XXV. Semarang: Karya Toha Putra.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. 2008. Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, terj. Tafsir Al-Qurthubi, jil.7. Jakarta: Pustaka Azzam.
Quthb, Sayyid. 2004. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jil, 11. Jakarta: Gema Insani.
Shihab, M. Quraish. 2010. Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an). Jakarta: Lentera Hati.
Syaamil Al-Qur’an (Terjemah Per Kata Type Hijaz). 2007. Jakarta: PT. Syaamil International.
Tim Ahli Ilmu Tauhid. 2011. At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani Al-‘Ali, terj. Kitab Tauhid 2. Jakarta: Darul Haq.




     [1]Lihat Tafsir Al-Maragi, Ahmad Mustafa Al-Maragi XXV/243
     [2]Lihat Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab 12/625
     [3]Lihat Tafsir Al-Maragi, Ahmad Mustafa Al-Maragi X/272-273
     [4]Lihat Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb 11/343
     [5]Lihat Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb 11/344
     [6]Lihat Tafsir Al-Qurthubi, Syaikh Imam Al-Qurthubi 7/253
     [7]Lihat Tafsir Al-Qurthubi, Syaikh Imam Al-Qurthubi 7/254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar