(METODE TAFSIR MAUDHU'I/ TAFSIR TEMATIK)
BAB I
PENDAHULUAN
Allah swt telah menciptakan manusia dan mengutus
para rasulNya untuk mengajak manusia beriman dan beribadah kepadaNya semata.
Kemudian Dia akan memberikan balasan yang lebih baik dari apa yang telah mereka
amalkan.
Iman yang sempurna mencakup membenarkan dengan hati, mengikrarkan
dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. Iman memiliki enam rukun,
yaitu: Iman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya,
hari akhir, dan iman kepada qadha’ dan qadar. Demikian juga, iman memiliki lebih dari 72 cabang.
Keimanan tersebut dasarnya adalah keyakinan yang disertai dengan kecintaan dan
ketundukan terhadap segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dari Allah swt.
BAB II
URGENSI IMAN
a.
Menyadari akan
adanya kekuatan sangat besar yang tidak mampu dicapai oleh akal, tetapi mampu
untuk diyakini, yaitu Allah swt Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa.
b.
Mendorong orang
untuk selalu mengerjakan amal baik dan menjauhi amal buruk karena meyakini
Allah Maha Tahu dan Maha Melihat.
c.
Menjadi pondasi
paling utama dalam melakukan amal perbuatannya sehingga amal baik yang
dilakukannya diterima di sisi Allah.
BAB III
PEMBAHASAN TENTANG IMAN
Pasal 1
MAKNA IMAN
1.
DEFINISI IMAN
Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut
istilah, iman adalah
تصديق
بالقلب واقرار باللسان وعمل بالاركان
“Membenarkan
dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan.”
Ini adalah pendapat Jumhur. Dan Imam asy-Syafi’i
meriwayatkan ijma’ para sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka yang
sezaman dengan beliau atas pengertian tersebut.
Allah swt berfirman:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوا۟ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟
بِأَمْوَٰلِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ
ٱلصَّٰدِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah
mereka yang beriman kepada Allah dan RasulNya, kemudian mereka tidak ragu-ragu
dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.” [QS. Al-Hujurat: 15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan iman yang sebenarnya
adalah orang-orang yang membenarkan Allah swt dan rasulNya, kemudian
tidak ragu-ragu dan tidak goncang, bahkan mereka mantap pada satu sikap dan mau
mengorbankan jiwa dan harta benda mereka yang paling mahal demi ketaatan kepada
Allah dan mengharapkan ridhaNya. Mereka itulah orang-orang yang benar dalam
mengatakan Amanna (kami beriman). Bukan seperti sebagian orang Badui
yang iman mereka hanyalah kata-kata yang lahir saja, sedang mereka masuk agama
hanya karena takut terhadap pedang supaya darah dan harta mereka terpelihara.[1]
Boleh jadi, timbul dalam benak sementara orang Badui bahwa mereka
telah mencapai peringkat mukmin sempurna itu, padahal sebenarnya tidak
demikian, bahkan dalam satu riwayat dinyatakan bahwa beberapa orang di antara
mereka bersumpah bahwa mereka benar-benar telah beriman.[2]
2.
PENJELASAN DEFINISI IMAN
“Membenarkan dengan hati” maksudnya,
menerima segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
“Mengikrarkan dengan lisan” maksudnya,
mengucapkan dua kalimat syahadat, “La ilaha illallah wa anna Muhammadan
Rasulullah” (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah swt,
dan bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah swt).
“Mengamalkan dengan anggota badan” maksudnya,
hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, sedang anggota badan mengamalkannya
dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya.
Kaum salaf rahimahullah, menjadikan amal termasuk dalam pengertian
iman. Dengan demikian, iman itu bisa bertambah dan berkurang seiring dengan
bertambah dan berkurangnya amal shalih.
Firman
Allah,
وَمَا جَعَلْنَآ أَصْحَٰبَ
ٱلنَّارِ إِلَّا مَلَٰٓئِكَةًۭ ۙ وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلَّا فِتْنَةًۭ
لِّلَّذِينَ كَفَرُوا۟ لِيَسْتَيْقِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ وَيَزْدَادَ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِيمَٰنًۭا ۙ وَلَا يَرْتَابَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟
ٱلْكِتَٰبَ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۙ وَلِيَقُولَ ٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌۭ
وَٱلْكَٰفِرُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًۭا ۚ
“Dan tiada kami jadikan penjaga neraka
itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah kami menjadikan bilangan mereka itu
melainkan untuk jadi cobaan orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi al-Kitab
menjadi yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya dan supaya
orang-orang yang diberi al-Kitab dan orang-orang mukmin tidak ragu-ragu dan
supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir
(mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai
suatu perumpamaan?" [QS. Al-Muddatstsir:
31]
Bagaimana Dalil Tersebut Menunjukkan bahwa Iman Dapat Bertambah
dan Berkurang?
Di dalamnya terdapat penetapan
bertambahnya iman orang-orang mukmin, yaitu dengan persaksian mereka akan
kebenaran nabi mereka, terbuktinya kabar berita yang dibawanya sebagaimana yang
tersebut dalam kitab-kitab samawi sebelumnya.
Pasal 2
HAKIKAT IMAN
Allah swt berfirman,
إِنَّمَا
ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًۭا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ
ٱلَّذِينَ
يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
أُو۟لَٰٓئِكَ
هُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ حَقًّۭا ۚ
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati
mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman
mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan
shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada
mereka. Itulah
orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” [QS. Al-Anfal: 2-4]
Dalam
ayat-ayat yang pertama Allah menyebutkan orang-orang yang lembut hatinya dan
takut kepada Allah ketika nama-Nya disebut, keyakinan mereka bertambah dengan
mendengar ayat-ayat Allah. Mereka tidak mengharapkan kepada selain-Nya, tidak
menyarahkan hati mereka kecuali kepada-Nya, tidak pula meminta hajat kecuali
kepada-Nya. Mereka mengetahui, Dialah semta yang mengatur kerjaan-Nya tanpa ada
sekutu. Mereka menjaga pelaksanaan seluruh ibadah fardhu dengan memenuhi
syarat, rukun dan sunnahnya. Mereka adalah orang mukmin yang benar-benar
beriman. Allah menjanjikan mereka derajat yang tinggi disisi-Nya, sebagaimana
mereka juga memperoleh pahala dan ampunan-Nya.
Pasal 3
RUKUN IMAN DAN
CABANG-CABANGNYA
1.
RUKUN-RUKUN
IMAN
اركان bentuk
jama’ dari ركن الشي ٬ ركن berarti sisi sesuatu yang paling kuat. Sedang
yang dimaksud rukun iman adalah sesuatu yang menjadi sendi tegaknya iman.
Rukun iman ada enam:
1.
Iman kepada
Allah swt.
2.
Iman kepada
para malaikat.
3.
Iman kepada
kitab-kitab samawiyah.
4.
Iman kepada
para rasul.
5.
Iman kepada
Hari Akhir
6.
Iman kepada
takdir Allah swt, yang baik maupun yang buruk.
Dalilnya adalah jawaban Rasulullah, ketika jibril bertanya padanya tentang iman:
“Engkau beriman kepada Allah, para malaikatNya,
kitab-kitabNya, para rasulNya, kepada Hari Akhir dan engkau beriman kepada takdir, yang
baik maupun yang buruk.” [HR. Al-Bukhari 1/19,20 dan Muslim, I/37]
2.
CABANG-CABANG
IMAN
الشعب adalah bentuk jama’ dari شعبة yang artinya
segolongan dan sekolompok dari sesuatu. Sedangkan شعب الايمان
adalah cabang-cabang iman yang bermacam-macam, jumlahnya banyak, lebih dari 72
cabang. Dalam hadits lain disebutkan bahwa cabang-cabangnya lebih dari 70 buah.
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa cabang yang paling utama adalah
tauhid, yang wajib bagi setiap orang, yang mana tidak satupun cabang iman
itu menjadi sah kecuali sesudah sahnya tauhid tersebut. Adapun cabang iman
yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu kaum muslimin,
di antaranya dengan menyingkirkan duri atau batu dari jalan mereka.
Sebagian dari cabang-cabang
iman yang lain yaitu berupa rukun dan ushul, yang dapat menghilangkan
iman manakala ia ditinggalkan, seperti mengingkari adanya Hari Akhir dan
sebagiannya lagi ada yang bersifat furu’, yang apabila meninggalkannya
tidak membuat hilangnya iman, sekalipun tetap menurunkan kadar iman dan membuat
fasik, seperti tidak memuliakan tetangga.
Pasal 4
SIFAT-SIFAT
ORANG BERIMAN[3]
Allah swt berfirman:
يَأْمُرُونَ
بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ
وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ
“Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari
yang munkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan
RasulNya.” [QS. At-Taubah: 71]
Di dalam ayat
ini, Allah menyifati kaum Mu’minin dengan lima sifat yang sama sekali berlainan
dengan sifat kaum munafik, yaitu:
Pertama: Mereka
menyuruh melakukan perbuatan yang ma’ruf, sedangkan kaum munafik
menyuruh mereka melakukan perbuatan yang munkar.
Kedua:
Mereka mencegah melakukan perbuatan yang munkar, sedangkan kaum munafik
mencegah melakukan perbuatan yang ma’ruf.
Sifat yang
pertama dan kedua ini, merupakan pagar segala keutamaan dan benteng
penghalang tersebarnya berbagai keburukan.
Ketiga:
Mereka melaksanakan shalat dengan sebaik dan sesempurna mungkin, dengan
khusyu’, menyerahkan diri kepada Allah swt, dan menghadirkan kalbu di dalam
bermunajat kepadaNya. Sedangkan orang-orang munafik, jika mereka
melaksanakan shalat, maka mereka melaksanakannya dengan bermalas-malasan dan
riya’ terhadap manusia.
Keempat:
Mereka mengeluarkan zakat yang diwajibkan atas mereka dan sedekah tatawwu’ (sukarela)
yang mereka diberkati untuk itu. Sedangkan kaum munafik, melaksanakan
shalat, namun mereka tidak menegakkannya; dan meskipun mereka menunaikan zakat
serta mengeluarkan infak, namun mereka melakukannya karena takut dan riya’,
bukan karena ketaatan kepada Allah swt.
Kelima:
Mereka terus-menerus melakukan ketaatan, dengan meninggalkan segala laranganNya
dan mengerjakan segala perintahNya menurut kemampuan mereka. Sedangkan,
orang-orang munafik melakukan kefasikan dan keluar dari lingkaran ketaatan.
Pasal 5
HAL-HAL YANG
MEMBATALKAN IMAN
Pembatal iman atau “nawaqidhul
iman” adalah sesuatu yang dapat menghapuskan iman, sesudah iman masuk didalamnya, yaitu:
1.
Mengingkari rububiyah Allah swt atau sesuatu dari
kehususan-kehususanNya, atau mengaku memiliki sesuatu dari kekhususan
tersebut atau membenarkan orang yang mengakuinya.
Allah swt berfirman,
وَقَالُوا۟
مَا هِىَ إِلَّا حَيَاتُنَا ٱلدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ
إِلَّا ٱلدَّهْرُ ۚ وَمَا لَهُم بِذَٰلِكَ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ هُمْ إِلَّا
يَظُنُّونَ
“Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain
masa,’ dan mereka sekali-kali tidak mempunyai
pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.“ [QS. Al-Jatsiyah: 24]
2.
Sombong serta menolak beribadah kepada Allah swt
Allah swt berfirman,
لَّن
يَسْتَنكِفَ ٱلْمَسِيحُ أَن يَكُونَ عَبْدًۭا لِّلَّهِ وَلَا ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ
ٱلْمُقَرَّبُونَ ۚ وَمَن يَسْتَنكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِۦ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ
إِلَيْهِ جَمِيعًۭا{172ْ} فَأَمَّا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَيُوَفِّيهِمْ أُجُورَهُمْ
وَيَزِيدُهُم مِّن فَضْلِهِۦ ۖ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ ٱسْتَنكَفُوا۟ وَٱسْتَكْبَرُوا۟
فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا أَلِيمًۭا وَلَا يَجِدُونَ لَهُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ
وَلِيًّۭا وَلَا نَصِيرًۭا{173}
“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba
bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada
Allah). Barangsiapa yang enggan dari menyembahNya dan menyombongkan diri, nanti
Allah akan mengumpulkan mereka semua kepadaNya. Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal shalih, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian
dari karuniaNya. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka
Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan
memperoleh bagi diri mereka, pelindung, dan penolong selain daripadaNya.“ [QS. An-Nisaa’: 172-173]
3.
Menjadikan perantara dan penolong yang ia sembah atau ia mintai
(pertolongan) selain Allah swt
Allah swt berfirman,
وَيَعْبُدُونَ
مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ
هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِ ۚ قُلْ أَتُنَبِّـُٔونَ ٱللَّهَ بِمَا
لَا يَعْلَمُ فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِى ٱلْأَرْضِ ۚ سُبْحَٰنَهُۥ وَتَعَٰلَىٰ
عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak
dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami disisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahuiNya,
baik dilangit dan tidak pula dibumi?’ Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu).“ [QS. Yunus: 18]
4.
Menolak sesuatu yang ditetapkan Allah swt untuk diriNya atau yang ditetapkan oleh rasulNya. Begitu pula orang yang menyifati seseorang (makhluk)
dengan sesuatu sifat yang khusus bagi Allah swt, seperti ilmu Allah swt. Termasuk juga menetapkan sesuatu yang dinafikan
Allah swt dari diriNya atau yang telah dinafikan
dariNya oleh Rasullah SAW. Allah swt berfirman kepada rasulNya,
قُلْ
هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ . ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ . لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ . وَلَمْ
يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ .
“Katakanlah, ‘Dialah Allah yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.“ [QS. Al-Ikhlas: 1-4]
Pasal 6
CONTOH-CONTOH
ORANG YANG BERIMAN
1.
Allah swt berfirman:
وَضَرَبَ
ٱللَّهُ مَثَلًۭا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱمْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ
ٱبْنِ لِى عِندَكَ بَيْتًۭا فِى ٱلْجَنَّةِ وَنَجِّنِى مِن فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِۦ
وَنَجِّنِى مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang
beriman, istri Firaun, ketika dia berkata: “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku
sebuah rumah di sisiMu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan
perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” [QS. At-Tahrim: 11]
Doa istri Fir’aun ini dan sikapnya merupakan teladan dalam
mengatasi segala kenikmatan hidup duniawi yang mempesona. Namun, dia dapat
mengatasi dan menguasai segala hal itu dengan keimanannya. Dia bukan hanya
berpaling dari kenikmatan itu, namun dia menganggapnya sebagai sesuatu yang
keji, kotor, dan ujian yang mengharuskannya untuk berlindung kepada Allah swt,
terhindar dari segala kekejiannya, dan memohon keselamatan dariNya. Dia adalah
satu-satunya wanita beriman di kerajaan itu. Namun, walaupun sendirian di tengah-tengah
tekanan masyarakat, tekanan istana, tekanan pengawal, dan kedudukan raja, dia
tetap mengharap kepada Rabbnya.[4]
2.
Allah swt berfirman:
وَمَرْيَمَ
ٱبْنَتَ عِمْرَٰنَ ٱلَّتِىٓ أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِن رُّوحِنَا
وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَٰتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِۦ وَكَانَتْ مِنَ ٱلْقَٰنِتِينَ
“dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya,
maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia
membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitabNya; dan dia termasuk
orang-orang yang taat.” [QS. At-Tahrim: 12]
Sesungguhnya Maryam
juga merupakan teladan dalam memurnikan diri kepada Allah swt. Allah swt
membebaskan Maryam dari segala tuduhan dari kaum Yahudi. Dari tiupan roh
itulah, Isa a.s. terbentuk sebagai manusia, dan menjadi bukti kebesaran Allah
swt.[5]
Sebutan secara
khusus tentang istri Fir’aun bersama Maryam disini menunjukkan kedudukannya
yang tinggi, yang membuat istri Fir’aun layak disebutkan bersama Maryam. Hal
ini disebabkan oleh ujian yang menimpa kehidupannya. Dua wanita ini, merupakan
teladan dan contoh bagi wanita mu’minah yang suci, membenarkan, percaya, dan
taat kepada Allah swt.
Pasal 7
DAMPAK MAKSIAT TERHADAP IMAN
Maksiat adalah lawan ketaatan, baik itu dalam bentuk meninggalkan perintah maupun melakukan suatu
larangan. Sedangkan iman, sebagaimana telah kita ketahui adalah 70 cabang
lebih, yang tertinggi adalah ucapan “laailaaha illallah“ dan yang terendah
adalah menyingkirkan gangguan dijalan. Jadi cabang-cabang ini tidak
bernilai atau berbobot sama, baik yang berupa mengerjakan (kebaikan) maupin
menininggalkan (larangan). Karena itu maksiat juga berbeda-beda. Dan maksiat
berarti keluar dari ketaatan. Jika ia dilakukan karena ingkar atau mendustakan maka ia bisa membatalkan iman. Sebagaimana Allah swt
menceritakan tentang Fir’aun dengan firmanNya,
فَكَذَّبَ
وَعَصَىٰ
“Tetapi Fir’aun mendustakan dan mendurhakai.” [QS. An-Nazi’at: 21]
Dan terkadang maksiat itu tidak sampai kepada
derajat tersebut sehingga tidak membuatnya keluar dari iman, tetapi memperburuk
dan mengurangi iman. Maka siapa yang melakukan dosa besar seperti berzina,
mencuri, meminum minuman yang memabukkan atau sejenisnya, tetapi tanpa meyakini
kehalalannya maka hilanglah rasa takut, khusyu’, dan cahaya dalam hatinya;
sekalipun pokok pembenaran dan iman tetap ada di hatinya.
Ada sebuah perumpamaan yang menggambarkan pengaruh maksiat atas iman, yaitu bahwasannya iman
itu seperti pohon besar yang rindang. Akar-akarnya adalah tashdiq
(kepercayaan) yang dengan akar itulah ia hidup, sedangkan cabang-cabangnya
adalah amal perbuatannya. Dengan cabang itulah kelestarian dan
hidupnya terjamin. Semakin bertambah cabangnya, maka semakin bertambah dan sempurna pohon itu, dan jika berkurang maka buruklah pohon itu. Lalu jika
berkurang terus sampai tidak tersisa cabang maupun
batangnya, maka hilanglah nama pohon itu. Manakala akar-akar itu tidak mengeluarkan batang-batang dan cabang-cabang yang bisa
berdaun, maka keringlah akar-akar itu dan hancurlah ia
dalam tanah.
BAB IV
BERIMAN KEPADA ALLAH
Yaitu keyakinan yang sesungguhnya bahwa Allah swt
adalah wahid (satu), ahad (esa), fard (sendiri), shamad
(tempat bergantung) tidak mengambil shahibah (teman wanita atau istri)
juga tidak memiliki walad (seorang anak). Dia adalah
pencipta dan pemilik segala sesuatu, tidak ada sekutu dalam kerajaanNya. Dialah
al-Khaliq (Yang Menciptakan), ar-Raziq (Pemberi Rizki), al-Mu’thi
(Pemberi Anugerah), al-Mani’ (Yang Menahan Pemberian), al-Muhyi
(Yang Menghidupkan), al-Mumit (Yang Mematikan), dan yang mengatur segala
urusan makhlukNya.
Dialah yang
berhak disembah, bukan yang lain, dengan segala macam ibadah, seperti khudhu’
(tunduk), khusyu’, khasyyah (takut), inabah (taubat), qashd
(niat), thalab (memohon), do’a, menyembelih, nadzar, dan sebagainya.
Termasuk beriman
kepada Allah swt adalah beriman dengan segala apa
yang Dia kabarkan dalam kitab suciNya atau apa yang diceritakan oleh RasulNya
SAW tentang Asma’ dan sifat-sifatNya dan bahwasanya Dia tidak sama dengan
MakhlukNya, dan bagiNya kesempurnaan mutlak dalam semua hal tersebut, dengan
menetapkan tanpa tamtsil (menyerupakan) dan dengan menyucikannya tanpa ta’thil
(menghilangkan maknanya) sebagaimana Dia mengabarkan tentang diriNya dengan
firmanNya,
بَدِيعُ
ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُۥ وَلَدٌۭ وَلَمْ تَكُن لَّهُۥ
صَٰحِبَةٌۭ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَىْءٍۢ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۭ ذَٰلِكُمُ
ٱللَّهُ رَبُّكُمْ ۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ خَٰلِقُ كُلِّ شَىْءٍۢ
فَٱعْبُدُوهُ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ وَكِيلٌۭ
“Dia Pencipta langit dan bumi.
Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia
menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu. (Yang memiliki
sifat-sifat khusus) demikian itu adalah Allah, Rabb kalian, tidak ada sembahan
yang haq selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia
adalah Pemelihara segala sesuatu.” [QS. Al-An’am: 101-102]
Tafsir
dari QS. Al-An’am: 101, yaitu:[6]
Firman
Allah swt, بَدِيعُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ “Dia Pencipta langit dan
bumi.” Maksudnya
adalah pencipta langit dan bumi. Maka, bagaimana mungkin dia memiliki
anak.
Firman
Allah swt, أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُۥ وَلَدٌۭ
“Bagaimana Dia mempunyai anak.” Maksudnya adalah dari mana Dia mempunyai anak, sedangkan anak
setiap sesuatu serupa dengan sesuatu tersebut, sementara tidak ada yang
menyerupaiNya.
Firman Allah swt, وَلَمْ
تَكُن لَّهُۥ صَٰحِبَةٌۭ “Padahal Dia tidak mempunyai isteri.”
Kata صَٰحِبَةٌ artinya
isteri.
Firman Allah swt, وَخَلَقَ
كُلَّ شَىْءٍۢ “Dia menciptakan segala
sesuatu.” Adalah lafazh umum yang bermakna khusus. Maksudnya
adalah Dia menciptakan alam. Tidak termasuk di dalamnya firmanNya dan
sifat-sifatNya.
Tafsir
dari QS. Al-An’am: 102, yaitu:[7]
Firman Allah swt, ذَٰلِكُمُ
ٱللَّهُ رَبُّكُمْ ۖ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ “(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan
kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.” Lafazh ذَٰلِكُمُ berada
pada posisi rafa’ sebagai mubtada’, sementara ٱللَّهُ رَبُّكُمْ sebagai
badal.
Firman
Allah swt, خَٰلِقُ كُلِّ شَىْءٍۢ sebagai
khabar mubtada’. Boleh juga رَبُّكُمْ
sebagai khabar dan خَٰلِقُ sebagai khabar kedua atau khabar mubtada’ tersembunyi,
yaitu خَٰلِقُ هُو .
BAB V
BERIMAN KEPADA MALAIKAT
1.
DEFINISI MALAIKAT
Menurut bahasa ملائكةadalah bentuk jama’ dariملك . Menurut suatu pendapat ia berasal dari kataألوكة yang bermakna الرسالة(Pengutusan) dan ada yang
menyatakan dari لأك yang bermakna ارسل (Mengutus) dan adapula yang
berpendapat selain dari keduanya.
Adapaun menurut istilah, ia adalah salah satu jenis makhluk Allah yang
Dia ciptakan khusus untuk taat dan beribadah kepadaNya serta mengerjakan semua tugas-tugasNya. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt dalam firmanNya,
وَلَهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ
وَمَنْ عِندَهُۥ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِۦ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ {19} يُسَبِّحُونَ ٱلَّيْلَ
وَٱلنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ {20}
“Dan kepunyaanNya-lah segala yang di langit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang disisiNya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untu menyembahNya dan tiada (pula) mereka letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” [QS. Al-Anbiya’: 19-20]
2.
BERIMAN KEPADA MALAIKAT
Iman kepada malaikat adalah rukun iman yang kedua. Maksudnya yaitu meyakini
secara pasti bahwa Allah swt mempunyai para malaikat yang diciptakan dari nur,
tidak pernah mendurhakai apa yang Allah swt perintahkan kepada mereka dan
mengerjakan setiap yang Allah swt titahkan kepada mereka.
Dalil yang mewajibkan beriman kepada malaikat:
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah,
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِۦ
وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ
وَرُسُلِهِۦ
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasul-Nya...” [QS. Al-Baqarah: 285]
Allah menjadikan iman ini sebagai akidah seorang mukmin.
BAB VI
BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
1.
DEFINISI
Secara bahasa, كتبadalah bentuk jama’ dariكتاب . Sedangkan kitab adalah mashdar
yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang ditulisi di dalamnya. Ia
pada awalnya adalah nama shahifah (lembaran) bersama tulisan yang ada di
dalamnya.
Sedangkan menurut syariat, كتبadalah kalam Allah swt yang diwahyukan
kepada rasul-rasulNya agar mereka menyampaikannya kepada manusia dan membacanya
bernilai ibadah.
2.
BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB
Beriman kepada kitab-kitab Allah swt adalah salah
satu rukun iman. Maksudnya yaitu membenarkan dengan penuh keyakinan bahwa
Allah swt mempunyai kitab-kitab yang diturunkan kepada hamba-hambaNya dengan
kebenaran yang nyata dan petunjuk yang jelas. Dan bahwasannya ia adalah
kalam Allah swt yang Dia firmankan dengan sebenarnya, seperti apa yang Dia kehendaki
dan menurut apa yang Dia ingini.
Allah swt berfirman,
يُنَزِّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةَ بِٱلرُّوحِ مِنْ أَمْرِهِۦ عَلَىٰ مَن
يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِۦٓ
“Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu dengan perintahNya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambaNya...” [QS. An-Nahl: 2]
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah,
قُولُوٓا۟ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ
وَمَآ أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ إِبْرَٰهِۦمَ وَإِسْمَٰعِيلَ
وَإِسْحَٰقَ وَيَعْقُوبَ وَٱلْأَسْبَاطِ وَمَآ أُوتِىَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ
أُوتِىَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍۢ مِّنْهُمْ
وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (hai
orang-orang mukmin), ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada
kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak
cucunya, dan apa yang telah diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang
diberikan kepada nabi-nabi dari Rabbnya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun
di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepadaNya’.” [QS. Al-Baqarah: 136]
Segi istidlalnya
adalah Allah swt memerintahkan orang-orang mukmin agar beriman kepadaNya dan
kepada apa yang telah Dia turunkan kepada mereka melalui nabi mereka, Muhammad SAW
yaitu al-Qur’an dan agar beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada para
nabi SAW dari Tuhan mereka tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain,
karena tunduk kepada Allah swt serta membenarkan apa yang diberitakanNya.
BAB VII
BERIMAN KEPADA PARA RASUL
1.
DEFINISI
Rasul secara bahasa adalah orang yang mengikuti berita-berita
orang yang mengutusnya. Rasul adalah nama bagi risalah atau bagi yang diutus. Sedangkan irsal adalah pengarahan.
Menurut istilah rasul ialah seorang laki-laki merdeka yang
diberi wahyu oleh Allah swt dengan membawa syariat dan ia di perintahkan untuk
menyampaikannya kepada umatnya, baik orang yang tidak ia kenal dan memusuhinya.
2.
BERIMAN KEPADA SEGENAP RASUL
Beriman kepada segenap rasul artinya membenarkan dengan seyakin-yakinnya
bahwa Allah swt mengutus seorang rasul pada setiap umat untuk mengajak mereka
beribadah kepada Allah swt semata tanpa menyekutukanNya dan untuk kufur kepada
sesembahan selainNya. Serta kepercayaan bahwa semua rasul adalah benar,
mulia, luhur, mendapat petunjuk serta menunjuki orang lain. Mereka telah
menyampaikan apa yang karenanya mereka diutus oleh Allah swt, tanpa menyembunyikan atau mengubahnya. Allah swt berfirman:
فَهَلْ
عَلَى ٱلرُّسُلِ إِلَّا ٱلْبَلَٰغُ ٱلْمُبِينُ {35} وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍۢ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟
ٱلطَّٰغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ
ٱلضَّلَٰلَةُ ۚ فَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ
ٱلْمُكَذِّبِينَ{36}
“…maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jahuilah
thagut itu,’ maka di antara umat itu ada orang-orang yang telah pasti kesesatan
baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasu)l.” [QS. An-Nahl: 35-36]
BAB VIII
BERIMAN PADA HARI AKHIR
Beriman kepada hari Akhir adalah rukun kelima dari rukun-rukun iman. Artinya ialah meyakini
dengan pasti kebenaran setiap hal yang diberitakan oleh Allah swt dalam kitab
suciNya dan setiap hal yang diberitakan oleh rasulNya mulai dari apa yang
terjadi sesudah mati, fitnah kubur, adzab dan nikmat kubur, dan apa yang
terjadi sesudah itu seperti kebangkitan dari kubur, tempat berkumpul di akhirat
(Mahsyar), catatan amal (Shuhuf), perhitungan (Hisab), timbangan (Mizan), telaga
(Haudh), titian (Shirath), pertolongan (Syafa’ah), surga dan neraka serta
apa-apa yang dijanjikan Allah swt bagi para penghuninya.
Firman Allah,
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ
وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَعَمِلَ
صَٰلِحًۭا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا
هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal shalih, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [QS. Al-Baqarah:
62]
BAB IX
BERIMAN KEPADA
QADHA’ DAN QADAR
1.
DEFINISI QADHA’
DAN QADAR
Qadha’ menurut bahasa memiliki beberapa makna yang
berbeda menurut perbedaan struktur kalimatnya, diantaranya berarti:
a.
Hukum, حكمartinya
قضى يقضى
قضاءmenghukumi, memutuskan.
b.
Perintah,
seperti firman Allah swt,
وَقَضَىٰ رَبُّكَ
أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kalian tidak beribadah
kecuali hanya kepadaNya.” [QS. Al-Isra’: 23]
c.
Kabar,
seperti firman Allah,
وَقَضَيْنَآ
إِلَيْهِ ذَٰلِكَ ٱلْأَمْرَ أَنَّ دَابِرَ هَٰٓؤُلَآءِ مَقْطُوعٌۭ مُّصْبِحِينَ
“Dan telah Kami kabarkan (wahyukan) kepadanya (Nabi Luth) perkara
itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu shubuh.“ [QS.
Al-Hijr: 66]
Sedangkan yang dimaksud disini ialah arti yang pertama.
Adapun Qadar, maka ia adalah takdir, yaitu menentukan atau
membatasi ukuran segala sesuatu sebelum terjadinya dan menulisnya di Lauhul
Mahfuzh. Allah swt berfirman,
وَقَدَّرَ
فِيهَآ أَقْوَٰتَهَا
“...dan Dia menentukan padanya kadar
makanan-makanan (penghuni)nya...” (QS. Al-Fushshilat: 10).
2.
BERIMAN KEPADA
QADHA’ ALLAH SWT & QADARNYA
Beriman kepada qadha’
dan qadar Allah adalah rukun keenam dari rukun iman. Makna beriman kepada
qadar ialah membenarkan dengan sesungguhnya bahwa yang terjadi (baik
dan buruk) itu adalah atas qadha’ dan qadar Allah swt.
Seperti firmanNya,
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِى
ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍۢ مِّن قَبْلِ أَن
نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ {22} لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ
وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍۢ
فَخُورٍ{23}
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi
dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh
Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS.
Al-Hadid: 22-23]
Ayat-ayat tersebut membuktikan bahwa segala yang terjadi pada alam
semesta dan pada jiwa manusia, yang baik maupun yang buruk, semua itu sudah
ditakdirkan oleh Allah swt dan ditulis sebelum diciptakannya makhluk. Maka apa
yang tidak didapatkannya dari sesuatu yang disukai tidak mengharuskan rasa
susah, dan apa yang didapatkan dari kebaikan tidak mengharuskan rasa suka.
BAB X
BUAH IMAN
a.
Sesungguhnya iman kepada Allah itu adalah kehidupan hati, memasok kekuatan kepadanya untuk menaiki tangga kesempurnaan. Ia adalah
pendorong bagi jiwa agar menghiasi diri dengan budi pekerti yang baik, jauh
dari kehidupan dan hal-hal yang tidak berguna. Sebagaimana Allah berfirman,
أَوَمَن
كَانَ مَيْتًۭا فَأَحْيَيْنَٰهُ وَجَعَلْنَا لَهُۥ نُورًۭا يَمْشِى بِهِۦ فِى
ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ لَيْسَ بِخَارِجٍۢ مِّنْهَا ۚ
كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَٰفِرِينَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami
berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan
di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidk dapat keluar dari padanya? Demikianlah
kami jadikan orang kafir itu memandang baik apa yang telah mmereka kerjakan.” [QS. Al-An’am: 122]
b.
Sesungguhnya iman itu adalah sumber ketenangan dan kedamaian bagi setiap orang. Karena itu sejalan dengan fitrah dan seiring dengan
tabiatnya. Ia adalah sumber kenyamanan dan kebahagiaan bagi masyarakat, karena
ia mengukuhkan ikatan-ikatan masyarakat, mengencangkan tali kekeluargaan dan
membersihkan perasaan-perasaan, dan dengan itu semua masyarakat menggapai kemuliaan
(fadhilah). Dan fadhilah itu adalah nikmat kerelaan (ridha)
dalam segala hal, dalam kondisi lapang atau sempit, muda atau sulit serta manis
atau pahit karena beriman kepada qadha’ Allah dan hikmahNya. Sebagaimana firman
Allah,
وَعَسَىٰٓ
أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ ۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّوا۟
شَيْـًۭٔا وَهُوَ شَرٌّۭ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia
amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat
buruk bagimu; Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 216]
Maka orang mukmin yang menjiwai dan merasakan
buah dari iman akan tenang hatinya, enak badan dan jiwanya. Kehidupannya penuh
dengan kebahagiaan, dinaungi oleh perasaan ridho dan damai, serta merasa tenang
atas rahmat Allah dan keadilanNya, karena Dia adalah tumpuan harapannya,
benteng perlindungannya, permata hatinya dan kenyamanan imannya.
c.
Menampakkan kemuliaan (izzah) dan kekebalan (mana’ah). Orang yang beriman percaya bahwa dunia adalah mazra’atul akhirah
(ladang untuk akhirat), seperti firman Allah,
وَأَقِيمُوا۟
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا۟ لِأَنفُسِكُم مِّنْ
خَيْرٍۢ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌۭ
“Dan dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat. Dan
apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan
bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya
Allah maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan,” (QS. Al-Baqarah: 110)
Dari sini kita mengetahui dengan jelas
bagaimana tugas-tugas berat dan agung bisa terwujud melalui tangan Rasulullah SAW dan tangan-tangan para sahabatnya.
Sesungguhnya seluruh kekuatan bumi tidak mampu menghadang orang yang hatinya
dipenuhi oleh pancaran iman, amalnya didasarkan pada pengawasan Allah dan
menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan akhirnya. Kita juga memahami
bagaimana para rasul dan para nabi dimana mereka sendirian menghadapi kaum dan umatnya yang bersatu, mereka
tidak mempedulikan jumlah manusia dan kekuatannya. Dalam
sejarah Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Hud a.s. terdapat sikap yang dapat menjelaskan dan
menampakkan kekuatan iman yang sebenarnya.
d.
Bersemangat, giat serta rajin bekerja. Sesungguhnya orang
yang telah beriman kepada qadha’ Allah dan qadharNya, mengetahui kaitan antara sebab
dan akibat, mengerti nilai amal, kedudukan dan keutamaannya ia akan mengetahui
bahwa diantara taufik Allah bagi manusia adalah petunjukNya untuk mengupayakan
sebab-sebab yang dapat mengantarkan kepada tujuan. Dan dia tidak akan berputus
asa apabila ada sesuatu yang tidak dia capai, sebagaimana dia tidak akan lupa
diri dan sombong apabila berhasil meraih keuntungan dunia, sebagai wujud dari
iman kepada firman Allah.
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍۢ فِى
ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍۢ مِّن قَبْلِ أَن
نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌۭ {22} لِّكَيْلَا تَأْسَوْا۟ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ
وَلَا تَفْرَحُوا۟ بِمَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍۢ
فَخُورٍ{23}
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi
dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh
Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka
cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira
terhadap apa yang diberikanNya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS.
Al-Hadid: 22-23]
BAB XI
PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan, maka
beriman kepada seluruh rukun merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan,
sebagiannya terkait dengan sebagian yang lain. Pengaruh masing-masing rukun
iman adalah berarti berpengaruh kepada rukun iman yang lain. Oleh karena itu, dalam realisasinya, satu rukun dengan yang
lainnya tidak dapat dipisahkan. Begitupula pengaruhnya terhadap pribadi dan
jama’ah, tidak dapat dipisahkan. Sebab individu adalah batu permata bagai
terbentuknya bangunan masyarakat.
Wallahua’lam
bis showab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maragi, jil. X dan XXV.
Semarang: Karya Toha Putra.
Al-Qurthubi,
Syaikh Imam. 2008. Al-Jami’ li Ahkaam Al-Qur’an, terj. Tafsir Al-Qurthubi,
jil.7. Jakarta: Pustaka Azzam.
Quthb, Sayyid. 2004. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an jil, 11. Jakarta: Gema Insani.
Shihab, M. Quraish. 2010. Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan
Keserasian Al-Qur’an). Jakarta: Lentera Hati.
Syaamil
Al-Qur’an (Terjemah Per Kata Type Hijaz). 2007. Jakarta: PT. Syaamil International.
Tim Ahli Ilmu Tauhid. 2011. At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani
Al-‘Ali, terj. Kitab Tauhid 2. Jakarta: Darul Haq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar