Laman

Sabtu, 13 Oktober 2012

AKHLAK-AKHLAK DA’I


AKHLAK-AKHLAK DA’I

Orang yang menyeru ke jalan Allah harus senantiasa mempelajari sunnah Rasulullah saw., perjalanan hidupnya yang harum, dan akhlaknya yang mulia, agar menjadi pelita yang menerangi jalan dan menjadi standar untuk mengukur perilaku. Dengan begitu ia dapat mengenali rambu-rambu jalan dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitannya, dapat menentukan tujuan perjalanannya, dan bisa mencari sarana-sarana yang benar untuk mengantarkannya pada tujuan tersebut. Dengan demikian ia bisa mengumumkan keridhaan bahwa Allah sebagai Tuhannya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya, sehingga ia bisa merasakan manisnya iman dan nikmatnya perjalanan. Lalu ia mampu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan serta bersabar dalam menghadapi ketentuan Allah. Ia dapat mendakwahi keluarga dekatnya, dapat pula menasihati orang-orang yang di kenal dari umat Islam. Ia menjadikan Rasulullah saw. sebagai suri teladan, bijaksana dalam dakwahnya, ihsan dalam menasihatinya, dan bermujadalah dengan cara yang lebih baik.
Mereka mengingkari Nabi, maka Nabipun berkata kepada mereka sebaimana disebutkan oleh Al-qur’an (Q.S. Yunus: 16).
Kedua sifat tersebut telah di ketahui sebelumnya. Oleh para musuh Rasulullah saw. Maka andaikan para pemuda muslim, terutama para aktivis dakwah memperhatikan kedua sifat itu dan berusaha untuk merealisasikan dalam kehidupan mereka sebelum berdakwah, maka dakwah bil maqal. Sehingga ketika seorang da’I menyeru manusia kepada agama Allah, ia mendapatkan semua orang memperhatikan dan menerima. Jika ia berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian jika aku memberitakan kepada kalian bahwa sesungguhnya di balik lembah itu ada pasukan kuda yang hendak menyerbu kalian, apakah kalian mempercayaiku?”. Mereka menjawab, “Kami tidak pernah melihat kamu berbohong sekalipun”.
Seorang da’I itu taufiqnya sangat tergantung pada sejauh mana ia berdakwah kepada Rasulullah saw. Seruannya tidak akan bisa lekat di hati masyarakat kecuali dengan memberikan keteladanan yang baik, yaitu jujur kata-katanya dan terpercaya perbuatannya.

I.         SHIDQ (Jujur)
Adapun shidq yang berarti kejujuran dan kebenaran. Lawan kata dari kedustaan, termasuk di antara sifat-sifat dasar yang menjelaskan potensi dasar seorang pelopor perjuangan. Allah SWT berfirman (Q.S Al-Ahzab: 23)

Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya kejujuran itu mengantarkan kepada kebajikan dan kebajikan itu mengantarkan ke surga. Seseorang bersikap jujur sehingga Allah SWT menetapkannya sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya dusta itu mengantarkan kepada perbuatan dosa dan dosa itu mengantarkan ke neraka. Seseorang bersikap dusta sehingga Allah SWT menetapkannya sebagai pendusta.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Shidq itu terdiri dari berbagai tingkatan:
1.    Shidq dalam perkataan
Merupakan kewajiban bagi setiap muslim untuk memelihara tutur katanya. Hendaknya ia tidak berbicara kecuali dengan jujur. Dan kesempurnaan shidqul qoul adalah menjaga kata-kata yang diplomatis. Demikianlah seorang da’I harus mempunyai kepekaan perasaan atas dirinya, sehingga dalam kondisi selalu bermunajat kepada Rabbnya. Agar kejujuran itu menjadi pembimbingnya dalam segala sesuatu . Dia harus merasa malu kepada Allah SWT ketika lisannya mengucapkan
Yang artinya: Aku hadapkan wajah (diri) ku kepada Dzat (Allah SWT) yang telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh kerelaan (Q.S. Al-An’am: 79).
Sementara pikiran dan hatinya jauh dari Allah SWT dan disibukkan dengan angan-angan dunia dan keindahannya.

2.    Shidq dalam niat dan kehendak
Shidq dalam niat dan kehendak dikembalikan pada keikhlasan. Artinya, tidak ada motivasi dalam gerak atau diamnya selain karena Allah SWT. Jika niat seperti itu disertai dengan keinginan-keinginan nafsu, niscaya kejujurannya menjadi batal (hilang).

3.    Shidqul ‘azm (Tekad yang benar)
Yaitu semangat yang kuat tidak ada kecenderungan lain, tidak melemah dan tidak ragu-ragu, sebagaimana firman Allah SWT dalam salah satu firman-Nya (Q.S. Muhammad: 21).

4.    Shidq dalam menepati janji
Sebagaimana firman Allah SWT (Q.S. Al-Ahzab: 23).

5.    Shidq dalam bekerja
Artinya hendaklah bersungguh-sungguh dalam beramal sehingga apa yang tampak dalam perbuatannya adalah apa yang ada dalam hatinya. Barangsiapa memberi nasihat kepada orang lain dengan tutur kata yang baik, tetapi batinnya menginginkan agar ia dikatakan sebagai orang yang alim, ia telah berbohong dengan perilakunya.

II.      SHABR (Sabar)
Shabr adalah merupakan akhlak qurani yang paling menonjol dan sangat diperhatikan oleh kitab Allah SWT yang mulia. Ia merupakan akhlak yang banyak di ulang-ulang dalam Al-qur’an, karena tidak ada keimanan bagi seseorang tanpa kesabaran padanya. Kalaupun masih ada, dia adalah keimanan yang lemah. Mereka tergolong orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi, jika memperoleh kebajikan ia tetap dalam keadaan itu, namun jika di timpa suatu bencana. Berbaliklah ia kebelakang. Rugilah orang seperti ini, di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, Rasulullah saw. memasukkan shabr sebagai separuh iman. Sesungguhnya iman itu yang separuh adalah syukur dan separuh lagi adalah shabr. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim, “Inti kebahagiaan itu ada 3:
1.    Apabila mendapat nikmat ia bersyukur
2.    Apabila di uji ia shabr
3.    Dan apabila ia berbuat dosa maka beristigfar

Shabr tidak bisa dicapai kecuali dengan 3 hal:
1.      Menahan diri dari mengeluh
2.      Menahan lisan dari perkataan kotor dan mengadu domba
3.      Menahan anggota badan dari perbuatan zalim
Dengan itu seorang muslim merasa mulia dan bersih hatinya, seakan ia terbang ke langit bersama para malaikat Allah SWT yang mulia. Qatadah r.a. berkata, “Allah SWT telah menciptakan pada malaikat itu akal dan tidak ada padanya syahwat, menciptakan pada binatang syahwat tanpa menyertakan akal, dan menciptakan pada manusia akal sekaligus syahwat. Barangsiapa yang akalnya bisa mengalahkan syahwatnya, ia bersama malaikat. Barangsiapa syahwatnya mengalahkan akalnya, tidak ada bedanya dengan binatang.”
Hal itu karena keselamatan manusia tidak mungkin bisa di capai, kecuali apabila ia menyempurnakan diri dengan iman dan amal shalih, kemudian menyempurnakan yang lainnya dengan memberi nasihat dan pengarahan. Dengan demikian ia telah menggabung antara hak Allah SWT dan hak manusia.

III.   AR-RAHMAH (Penyayang)
Seorang da’I wajib mengetahui bahwa risalah yang di embannya untuk seluruh manusia ini adalah risalah rahmah atau kasih sayang, sebagaimana ditegaskan dalam Al-qur’an yang ditujukan kepada Rasulullah saw (Q.S. Al-Anbiya’: 107).
Rahmah (kasih sayang) itu meliputi kasih sayang dalam aqidah, syari’at, dan akhlak. Kamu bisa melihat kasih sayang islam itu ada dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga kasih sayang itu telah menjadi cirri khas masyarakat islam baik terhadap sesama manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan terhadap benda mati sekalipun. Bukankah ada seorang wanita yang di masukkan neraka karena kucing yang disiksanya?. Sebailknya ada seorang pelacur masuk surga karena belas kasihannya pada seekor anjing, sebagaimana pernah diberitakan oleh Rasulullah saw.

IV.   TAWADHU’ (Rendah Hati)
Untuk dapat menjadi da’I yang simpatik dan di cintai ummat, maka salah satu sifat terbaik yang harus di miliki ialah rendah hati. Sikap sombong takabur akan membuat jarak dan jurang yang dalam antara da’I dengan masyarakat, bahkan akan membuat ia terasing dari lingkungannya.

V.      BERINTERAKSI DAN UZLAH (Menjauhkan atau Mengasingkan Diri)
Manusia makhluk sosial sehingga tidak mungkin untuk hidup sendiri. Dalam ajaran Islampun ditekankan agar umatnya tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa, apatah lagi sebagai seorang da’I.
Sebagai orang yang mengajak atau menyeru kepada kebaikan tentu saja seorang da’I harus berinteraksi dengan masyarakat atau ummatnya.
Menurut Az-Zuhaili, Al-Qur’an pada dasarnya tidak mensyariatkan agar manusia dalam situasi normal memutuskan hubungan dengan dunia untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah dan Al-Qur’anpun tidak menyerukan berkonsentrasi penuh terhadap masalah dunia hingga meninggalkan ibadah keduanya harus saling melengkapi dan saling menyempurnakan.
Tindak mengasingkan diri ke dalam gua sebagaimana pernah di lakukan oleh Ashabul Kahfi adalah disyari’atkan ketika terjadi fitnah atas diri manusia yang membahayakan agamanya (Q.S. Al-Kahfi: 16). Hal inipun pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dan para sahabat, kondisi pengecualian ini menjadi dalil atas diperbolehkannya uzlah, tetapi uzlah tidak berlaku selamanya, apabila sudah siap kembali ke masyarakat, maka seorang da’I harus kembali.



DAFTAR PUSTAKA

Yakan, Fathi. 1987. Konsep Penguasaan Da’wah, cet.1. Jakarta: Yayasan Al-Amanah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar