AKHLAK-AKHLAK DA’I
Orang yang menyeru ke jalan Allah harus senantiasa mempelajari
sunnah Rasulullah saw., perjalanan hidupnya yang harum, dan akhlaknya yang
mulia, agar menjadi pelita yang menerangi jalan dan menjadi standar untuk
mengukur perilaku. Dengan begitu ia dapat mengenali rambu-rambu jalan dan mampu
mengatasi kesulitan-kesulitannya, dapat menentukan tujuan perjalanannya, dan
bisa mencari sarana-sarana yang benar untuk mengantarkannya pada tujuan
tersebut. Dengan demikian ia bisa mengumumkan keridhaan bahwa Allah sebagai
Tuhannya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya, sehingga ia bisa merasakan
manisnya iman dan nikmatnya perjalanan. Lalu ia mampu melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan serta bersabar dalam menghadapi ketentuan Allah. Ia dapat
mendakwahi keluarga dekatnya, dapat pula menasihati orang-orang yang di kenal
dari umat Islam. Ia menjadikan Rasulullah saw. sebagai suri teladan, bijaksana
dalam dakwahnya, ihsan dalam menasihatinya, dan bermujadalah dengan cara yang
lebih baik.
Mereka mengingkari Nabi, maka Nabipun berkata kepada mereka
sebaimana disebutkan oleh Al-qur’an (Q.S. Yunus: 16).
Kedua sifat tersebut telah di ketahui sebelumnya. Oleh para musuh
Rasulullah saw. Maka andaikan para pemuda muslim, terutama para aktivis dakwah
memperhatikan kedua sifat itu dan berusaha untuk merealisasikan dalam kehidupan
mereka sebelum berdakwah, maka dakwah bil maqal. Sehingga ketika seorang da’I
menyeru manusia kepada agama Allah, ia mendapatkan semua orang memperhatikan
dan menerima. Jika ia berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian jika
aku memberitakan kepada kalian bahwa sesungguhnya di balik lembah itu ada
pasukan kuda yang hendak menyerbu kalian, apakah kalian mempercayaiku?”. Mereka
menjawab, “Kami tidak pernah melihat kamu berbohong sekalipun”.
Seorang da’I itu taufiqnya sangat tergantung pada sejauh mana ia
berdakwah kepada Rasulullah saw. Seruannya tidak akan bisa lekat di hati
masyarakat kecuali dengan memberikan keteladanan yang baik, yaitu jujur
kata-katanya dan terpercaya perbuatannya.
I.
SHIDQ (Jujur)
Adapun
shidq yang berarti kejujuran dan kebenaran. Lawan kata dari kedustaan, termasuk
di antara sifat-sifat dasar yang menjelaskan potensi dasar seorang pelopor
perjuangan. Allah SWT berfirman (Q.S Al-Ahzab: 23)
Rasulullah
saw. bersabda,
“Sesungguhnya
kejujuran itu mengantarkan kepada kebajikan dan kebajikan itu mengantarkan ke
surga. Seseorang bersikap jujur sehingga Allah SWT menetapkannya sebagai orang
yang jujur. Sesungguhnya dusta itu mengantarkan kepada perbuatan dosa dan dosa
itu mengantarkan ke neraka. Seseorang bersikap dusta sehingga Allah SWT
menetapkannya sebagai pendusta.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Shidq
itu terdiri dari berbagai tingkatan:
1.
Shidq dalam perkataan
Merupakan
kewajiban bagi setiap muslim untuk memelihara tutur katanya. Hendaknya ia tidak
berbicara kecuali dengan jujur. Dan kesempurnaan shidqul qoul adalah menjaga
kata-kata yang diplomatis. Demikianlah seorang da’I harus mempunyai kepekaan
perasaan atas dirinya, sehingga dalam kondisi selalu bermunajat kepada Rabbnya.
Agar kejujuran itu menjadi pembimbingnya dalam segala sesuatu . Dia harus
merasa malu kepada Allah SWT ketika lisannya mengucapkan
Yang
artinya: Aku hadapkan wajah (diri) ku kepada Dzat (Allah SWT) yang telah
menciptakan langit dan bumi dengan penuh kerelaan (Q.S. Al-An’am: 79).
Sementara
pikiran dan hatinya jauh dari Allah SWT dan disibukkan dengan angan-angan dunia
dan keindahannya.
2.
Shidq dalam niat dan kehendak
Shidq
dalam niat dan kehendak dikembalikan pada keikhlasan. Artinya, tidak ada
motivasi dalam gerak atau diamnya selain karena Allah SWT. Jika niat seperti
itu disertai dengan keinginan-keinginan nafsu, niscaya kejujurannya menjadi
batal (hilang).
3.
Shidqul ‘azm (Tekad yang benar)
Yaitu
semangat yang kuat tidak ada kecenderungan lain, tidak melemah dan tidak
ragu-ragu, sebagaimana firman Allah SWT dalam salah satu firman-Nya (Q.S.
Muhammad: 21).
4.
Shidq dalam menepati janji
Sebagaimana
firman Allah SWT (Q.S. Al-Ahzab: 23).
5.
Shidq dalam bekerja
Artinya
hendaklah bersungguh-sungguh dalam beramal sehingga apa yang tampak dalam
perbuatannya adalah apa yang ada dalam hatinya. Barangsiapa memberi nasihat
kepada orang lain dengan tutur kata yang baik, tetapi batinnya menginginkan agar
ia dikatakan sebagai orang yang alim, ia telah berbohong dengan perilakunya.
II.
SHABR (Sabar)
Shabr
adalah merupakan akhlak qurani yang paling menonjol dan sangat diperhatikan
oleh kitab Allah SWT yang mulia. Ia merupakan akhlak yang banyak di ulang-ulang
dalam Al-qur’an, karena tidak ada keimanan bagi seseorang tanpa kesabaran
padanya. Kalaupun masih ada, dia adalah keimanan yang lemah. Mereka tergolong
orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi, jika memperoleh
kebajikan ia tetap dalam keadaan itu, namun jika di timpa suatu bencana.
Berbaliklah ia kebelakang. Rugilah orang seperti ini, di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu, Rasulullah saw. memasukkan shabr sebagai separuh iman.
Sesungguhnya iman itu yang separuh adalah syukur dan separuh lagi adalah shabr.
Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim, “Inti kebahagiaan itu ada 3:
1.
Apabila mendapat nikmat ia bersyukur
2.
Apabila di uji ia shabr
3.
Dan apabila ia berbuat dosa maka beristigfar
Shabr tidak
bisa dicapai kecuali dengan 3 hal:
1.
Menahan diri dari mengeluh
2.
Menahan lisan dari perkataan kotor dan mengadu domba
3.
Menahan anggota badan dari perbuatan zalim
Dengan
itu seorang muslim merasa mulia dan bersih hatinya, seakan ia terbang ke langit
bersama para malaikat Allah SWT yang mulia. Qatadah r.a. berkata, “Allah SWT
telah menciptakan pada malaikat itu akal dan tidak ada padanya syahwat,
menciptakan pada binatang syahwat tanpa menyertakan akal, dan menciptakan pada
manusia akal sekaligus syahwat. Barangsiapa yang akalnya bisa mengalahkan
syahwatnya, ia bersama malaikat. Barangsiapa syahwatnya mengalahkan akalnya,
tidak ada bedanya dengan binatang.”
Hal
itu karena keselamatan manusia tidak mungkin bisa di capai, kecuali apabila ia
menyempurnakan diri dengan iman dan amal shalih, kemudian menyempurnakan yang
lainnya dengan memberi nasihat dan pengarahan. Dengan demikian ia telah
menggabung antara hak Allah SWT dan hak manusia.
III.
AR-RAHMAH (Penyayang)
Seorang
da’I wajib mengetahui bahwa risalah yang di embannya untuk seluruh manusia ini
adalah risalah rahmah atau kasih sayang, sebagaimana ditegaskan dalam Al-qur’an
yang ditujukan kepada Rasulullah saw (Q.S. Al-Anbiya’: 107).
Rahmah
(kasih sayang) itu meliputi kasih sayang dalam aqidah, syari’at, dan akhlak.
Kamu bisa melihat kasih sayang islam itu ada dalam seluruh aspek kehidupan,
sehingga kasih sayang itu telah menjadi cirri khas masyarakat islam baik
terhadap sesama manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan terhadap benda mati
sekalipun. Bukankah ada seorang wanita yang di masukkan neraka karena kucing
yang disiksanya?. Sebailknya ada seorang pelacur masuk surga karena belas
kasihannya pada seekor anjing, sebagaimana pernah diberitakan oleh Rasulullah
saw.
IV.
TAWADHU’ (Rendah Hati)
Untuk dapat
menjadi da’I yang simpatik dan di cintai ummat, maka salah satu sifat terbaik
yang harus di miliki ialah rendah hati. Sikap sombong takabur akan membuat
jarak dan jurang yang dalam antara da’I dengan masyarakat, bahkan akan membuat
ia terasing dari lingkungannya.
V.
BERINTERAKSI DAN UZLAH (Menjauhkan atau Mengasingkan Diri)
Manusia
makhluk sosial sehingga tidak mungkin untuk hidup sendiri. Dalam ajaran
Islampun ditekankan agar umatnya tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa,
apatah lagi sebagai seorang da’I.
Sebagai
orang yang mengajak atau menyeru kepada kebaikan tentu saja seorang da’I harus
berinteraksi dengan masyarakat atau ummatnya.
Menurut
Az-Zuhaili, Al-Qur’an pada dasarnya tidak mensyariatkan agar manusia dalam
situasi normal memutuskan hubungan dengan dunia untuk beribadah dan bermunajat
kepada Allah dan Al-Qur’anpun tidak menyerukan berkonsentrasi penuh terhadap
masalah dunia hingga meninggalkan ibadah keduanya harus saling melengkapi dan
saling menyempurnakan.
Tindak
mengasingkan diri ke dalam gua sebagaimana pernah di lakukan oleh Ashabul Kahfi
adalah disyari’atkan ketika terjadi fitnah atas diri manusia yang membahayakan
agamanya (Q.S. Al-Kahfi: 16). Hal inipun pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad
saw. dan para sahabat, kondisi pengecualian ini menjadi dalil atas
diperbolehkannya uzlah, tetapi uzlah tidak berlaku selamanya, apabila sudah
siap kembali ke masyarakat, maka seorang da’I harus kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar