DIRASAH SUNAN ABU DAWUD
A.
PENDAHULUAN
Perlu diakui untuk mengambil dirosah terhadap sebuah konsep
dan teori yang telah mapan, bukanlah merupakan sebuah kerja yang gampang, yang
hanya dapat dilakukan dalam tempo yang singkat, terlebih itu adalah sebuah
kitab hadits yang telah diakui oleh banyak kalangan ulama meskipun mayoritas
ulama mengatakan kitab hadits ini, skala gradualitasnya berada pada rangking
ketiga setelah kitab shahih al-Bukhari dan
shahih muslim. Kerena itulah
penulisan singkat ini akan hanya mengorientasikan kajian pada beberapa aspek
bagian dari isi kitab Sunan yang
telah dipilih secara cermat serta juga tak lupa mengkaji beberapa aspek terkait
dari kajian kitab ini termasuk seputar kehidupan dan karya serta kiprah Abu Dawud
dalam studi hadits.
Kajian ini tentang isi kitab yang secara spesifik
membahas secara deskriptif aspek-aspek yang termuat dalam kitab
sunan tersebut. Untuk tujuan tersebut, akan dipilah ke beberapa sub kajian yang
terdiri dari Biografi Singkat Abu Dawud (berisikan hal-hal spesifik
seputar kehidupan dan petualangan keilmuan Abu Dawud), Deskripsi Umum Kitab
Sunan Abu Dawud (berisikan sekilas gambaran umum tentang isi kitab sunan,
seperti sebab ia dinamakan sunan, karakteristik, pembagian hadits
dan komentar-komentar) dan Studi Kritis Kitab Sunan Abu Dawud (berisikan
teori-teori umum tentang studi kritis hadits dan implikasinya terhadap kitab sunan
ini).
B.
BIOGRAFI
SINGKAT ABU DAWUD
Abu Dawud, begitulah ia dikenal dan disapa oleh kalangan ilmuwan
hadits maupun masyarakat Islam. Nama lengkapnya adalah Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'ats bin Ishaq bin Bisyri bin
Syaddad bin 'Amr bin 'Imron al-Azdi al-Sijistani. Ia lahir pada tahun 202 H/817
M, dan wafat di usia
73 tahun, tepatnya pada hari Jum’at 14 Syawal 275 H/888 M di kota Basrah, dan dimakamkan
disamping kuburan Sufyan Ats-Tsauri.
Reputasi Abu Dawud melejit, setelah ia secara politis memperoleh
legitimasi dan kedudukan yang berarti dari Gubernur Basrah yang masih saudara khalifah Al Muwaffaq, yang memintanya untuk menjadi tenaga pengajar di kota
Basrah.
Sunan Abu Dawud, dapat dikatakan sebagai karya monumental yang lahir dari tangan seorang muhaddits
(ahli hadits) pada abad 3 hijriah, karena kitab ini bukan saja secara
spesifik menghimpun hadits-hadits fiqh (hukum Islam), namun juga secara
sistematika kajian, ia adalah ahli hadits pertama yang menulis kitab hadits
dengan urutan kajian fiqh.
Dalam upaya pengumpulan hadits Abu Dawud termasuk ilmuwan
yang cukup intens dan serius, ini terbukti dengan rihlah (pengembaraan)
yang ia lakukan dengan menelusuri beberapa daerah untuk memperoleh hadits baik
dari kalangan ahli hadits maupun penduduk setempat, seperti Iraq, Syam,
al-Jazair, Khurasan, Syam, Hijaz, Mesir dan lain-lain. Dari rihlah ini
akhirnya terkumpul sekitar 500.000 hadits. Namun, ia tidak hanya berhenti di
sini saja, ia lalu melakukan penyaringan dari sekitar 500.000 hadis. Hasil
penyaringan ini menghasilkan 4.800 hadis hukum, yang berarti hanya diambil
kurang dari 1% atau sekitar 0.96% hadits. Dari kenyataan ini memberikan
petunjuk bahwa Abu Dawud sangat teliti dalam menyaring hadis.
Akan tetapi dalam banyak naskah yang ditemukan terdapat
perbedaan, misalnya naskah yang diriwayatkan oleh Ibn al-'Arabi Abu Sa'id Ahmad
bin Muhammad bin Ziyat, terdapat kekurangan tiga kitab jika dibandingkan dengan
naskah lainnya. Misalnya dengan naskah riwayat Muhammad bin Ahmad bin 'Amr
al-Lu'lu'iy terdapat kitab al-fitan, kitab al-malahin
dan kitab al-huruf. Berdasarkan penelitian Saharanfuri, naskah Ibn
al-'Arabi adalah naskah yang paling rendah nilainya dibanding dengan lainnya,
sedang yang paling sahih adalah naskah al-Lu'lu'iy.
C.
DESKRIPSI UMUM KITAB SUNAN ABU DAWUD
Kitab Sunan Abu Dawud merupakan kitab hadits
yang secara kredibilitas masih banyak diakui eksistensinya oleh kalangan
mayoritas masyarakat muslim , meskipun sebagaimana dua kitab shahih teratas
daripadanya, tetap menuai kritik. Sebelum lebih lanjut pada kajian tentang
kitab yang satu ini, perlu terlebih dahulu digambarkan aspek-aspek yang
berhubungan dengan kitab sunan ini meskipun secara singkat.
1.
Definisi
Kitab Sunan
Secara etimologi terma sunan
adalah kosakata bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata sunnah
yang berarti jalan, tabiat, atau perilaku hidup. Dari itu pula berdasarkan
hadits Muslim:
من سن فى الإسلام سنة حسنة فله أجرها ىأجر من عمل بهابعده
من غير أن ينقص من أجورهم شيء
al-Siba'i, memberikan sebuah
definisi lain, yaitu jalan baik yang terpuji maupun tercela.
Namun, secara terminologi,
terma sunnah ini para ulama berbeda pendapat:
a. Perspektif
ulama hadits, sunnah ialah segala sesuatu yang di-nukil dari Nabi
saw. baik berupa perkataan, taqrir, sifat, keadaan maupun perjalanan
hidup beliau yang terjadi sesudah maupun sebelum kerasulan.
b. Perspektif
ulama ushul, sunnah ialah segala sesuatu yang diambil dari Nabi saw. baik berupa
perkataan, maupun taqrir yang memiliki hubungan dengan hukum.
c. Perspektif
ulama fiqh, sunnah ialah suatu hukum yang jelas berasal dari Nabi saw.
Dari perbedaan-perbedaan
definisi di atas, akan dapat disimpulkan bahwa titik tekan perbedaan mereka
adalah terletak pada tujuan dan objek kajian masing-masing. Akan tetapi, khusus
kasus penggandengan terma sunan dengan kitab-kitab hadits, terma ini
mengalami pergeseran. Yaitu penamaan yang diperuntukkan untuk kitab-kitab
hadits yang disusun berdasarkan urutan kajian fiqh. Oleh karena itu, karena
kitab Sunan Abu Dawud disusun berdasarkan urutan
kajian fiqh, ia dinamakan sunan.
Sedangkan yang mendorongnya menulis kitab
As-Sunan antara lain adalah banyaknya kitab hadits yang beredar tetapi
masih bercampur aduk didalamnya bebagai topik seperti hukum, berita, cerita,
nasehat, dan lainnya.
2.
Karakteristik
Kitab Sunan Abu Daud
Kitab Sunan Abu
Dawud, yang konon penulisannya memakan waktu sampai 20 tahun ini, ditulis
dalam empat jilid yang memuat 4.800 hadits, ini adalah angka murni tanpa
pengulangan, memang dalam kitab sunan ini terdapat sekitar 474 hadits
yang ditulis berulang-ulang dari jumlah total 5.274 hadits yang ada. Namun hal
ini bukan merupakan sebuah kesalahan, sebab kajian yang dilakukan oleh Abu Dawud
bukan berdasarkan kronologis sabab al-wurud (sebab-sebab keluarnya
hadits) sebuah hadits atau berdasarkan sumber periwayatan. Dan untuk menjamin
dan memelihara ad-Din, seseorang cukup hanya
dengan 4 hadits saja:
1.
انماالاعمال
بالنيات وانما لكل امرء مانوى
“Sesungguhnya
seluruh amal perbuatan seseorang tergantung niatnya”.
2 . من
حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
“Termasuk
kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan sesuatu (ucapan atau pebuatan) yang
tidak berguna atau bermanfaat.
3.
لا
يكون المؤمن مؤمنا حتى يرضى لأخيه ما يرضاه لنفسه
“Tidaklah
seorang mu’min benar-benar menjadi mu’min sehingga dia rela/ridha kepada
saudaranya sebagaimana dia ridha kepada dirinya”.
4. نَّ
الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ
مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى
الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي
الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى
يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ
حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ
صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ
الْقَلْبُ
“Suatu hal yang halal itu jelas dan yang haram
(juga) jelas, diantara keduanya hal itu adalah perkara yang subhat
(remang-remang) yang tidak diketahui orang banyak, maka barang siapa takut akan
subhat, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya……..
Namun kajian yang dilakukan oleh Abu Dawud adalah secara
tematis, yang dalam hal ini berdasarkan tema-tema kajian fiqh klasik, yaitu
mulai dari kitab thaharah, shalat, zakat dan seterusnya. Apalagi dalam
sebuah hadits biasanya mengandung beberapa pesan. Karena itulah, hadits-hadits
tersebut mengalami pengulangan. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id
al-Khudri dan dan Kharijah bin Shilat yang disebutkan pada kitab al-ijarah dan
kemudian diulang pada kitab al-thib.
Namun demikian, sebelum Abu Dawud melakukan penyusunan
hadits berdasarkan klasifikasi fiqh tersebut, beliau juga melakukan
seleksi terlebih dahulu untuk mengetahui sebuah hadits. Hal yang disayangkan,
meskipun ia telah mengetahui bahwa hadits tersebut tidak shahih, namun
untuk kepentingan dan tuntutan bahasan beliau tetap mencantumkannya ke dalam
kitab sunan ini. Tetapi untuk alasan ini, ia memberikan penjelasan
tentang ketidak-shahih-an sebuah hadits di akhir tulisan.
Diantara para perawi kitab Sunan yang termashur dan terkenal adalah :
1. Abu Ali, Muhammad bin Ahmad Al-Lu’lu’iy. Riwayat
yang ditulisnya paling shahih dikarenakan oleh beberapa faktor, antara lain :
a.
Kesaksian
ulama terhadap riwayat Al-Lu’lu’iy. Misalnya Ibnu Rasyid al-Busti dalam
rihlahnya mengatakan; “Riwayat Al-Lu’lu’iy adalah riwayat yang paling akhir
didiktekan kepada Abu Dawud sebelum beliau wafat (th. 333H)
b.
Tersebar
luasnya riwayat ini, dan sebagian besar pensyarah as-Sunan bersandar pada
periwayatan ini, seperti : Imam Al-Mundziri, Al-Hafizh Ibnu Raslan, Abu Zar’ah
Al-Iraqy, Ibnu Asaakir, Ibnu’l Atsir dan Al-Mizzy.
2. Abu Bakar, Muhammad bin Bakar Ibnu Daasah Al-Bishri.
Riwayat yang ditulisnya banyak beredar di negara Maghrib (Maroko dan
sekitarnya), beliau wafat th.346H.
3. Abu Sa’id, Ahmad bin Muhammad Al-Bishri. Atau lebih
dikenal Ibnu’l A’rabi, akan tetapi riwayatnya tidak lengkap, beliau wafat th.
340H.
4. Abu’l Hasan,
Ali bin Al-Hasan Ibnu’l Abd Al-Anshari,
beliau wafat th. 328H.
5. Abu Isa, Ishaq bin Musa bin Sa’id Ar-Ramli.
Dari metode penyusunan tersebut, maka sistematika kitab sunan
ini memuat hadits-hadits yang disesuaikan dengan bahasan-bahasan fiqh,
perspektif Abu Dawud. Pada setiap pokok bahasan ia memakai istilah kitab,
sedangkan pada setiap sub pokok
bahasan ia gunakan istilah bab. Namun perlu dicatat, tidak
semua kitab memiliki bab, sebab ada beberapa yang ditulis
langsung haditsnya tanpa memberikan apa nama bab-nya, ini karena pada kitab-kitab
tersebut memang tidak memiliki bahasan yang lebih dari satu. Seperti pada kitab
al-luqathah, al-huruf wa al-qira' dan al-mahdi.
3.
Pembagian
Hadits dalam Kitab Sunan Abu Dawud
Seperti halnya para ulama
hadits yang lain, Abu Dawud juga melakukan uji keabsahan hadits yang ia terima untuk kemudian dimuat dalam
kitab sunan ini. Dari uji tersebut akhirnya ia berhasil menghimpun
banyak hadits-hadits shahih. Untuk tanggung jawab ini, ia memberikan
penjelasan di akhir kitab tentang hadits yang diriwayatkannya. Namun sayang ini
tidak dilakukan oleh Abu Daud dalam setiap hadits yang tidak shahih, hanya
beberapa bagian saja yang ia jelaskan keautentikannya. Secara jujur ia
mengakui:
وإن من الأحاديث فى كتابى ماليس متصل وهو مرسل ومدلس, يعنى
إذا لم توجد الصحاح عند عامة أهل الحديث على معنى أنه متصل
Dari problem tersebut pula, Abu
Dawud memperkenalkan beberapa
istilah penyebutan kualitas hadits yang diriwayatkan, seperti shahih, ma
yusybihuhu, yuqaribuhu, syadid dan shalih.
4.
Komentar
Ulama Tentang Kitab Sunan Abu Dawud
Abu Dawud adalah termasuk penulis aktif, sebagaimana
penulis-penulis klasik lainnya, yang mampu menghasilkan karya tulis yang
relatif begitu banyak dan tebal.
Di antara kitab-kitab hadits yang sembilan (Kutub as-Sittah) Sunan Abu Dawud, merupakan satu-satunya kitab hadits yang ditulis
berdasarkan urutan kajian fiqh, karena itu pula wajar jika Abu Bakr al-Hajizi,
menggelarnya dengan al-Imam al-Fiqhiyah.
Ada banyak komentar positif atas tulisan Abu Dawud yang satu ini, seperti:
a.
Al-Khaththabi, menyatakan bahwa belum ada dalam ilmu
hadits karangan seperti Sunan Abu Dawud
ini, ia merupakan pengarang terbaik dan banyak mengerti tentang dua kitab shohih
sebelumnya (shahih al-Bukhari dan shahih Muslim)
b.
Ibnu Katsir, menyatakan bahwa dalam sunan
Abu Dawud terdapat banyak periwayatan hadits yang tidak terdapat
pada periwayatan lainnya.
c.
Ibn al-'Arabi, menyatakan bahwa jika seseorang telah
memiliki al-Quran dan kitab Sunan Abu Dawud, maka tidak perlu lagi
baginya untuk memiliki yang lain.
d.
Al-Ghazali, menyatakan bahwa dengan kitab Sunan Abu Dawud sudah
cukup bagi seorang mujtahid untuk mengetahui hadits-hadits hukum.
Dari
pujian-pujian singkat keempat tokoh di atas, wajarlah kiranya jika kitab sunan
ini memperoleh kedudukan yang cukup signifikan di kalangan kitab-kitab
hadits. Namun itu semua tidak dapat membutakan kita dari upaya untuk melakukan
studi kritis atas kitab tersebut, bahkan seperti Ibn al-Jauzi, ahli hadits yang
bermazhab Hanbali,—padahal Abu Daud sendiri termasuk salah seorang murid dari
tokoh mazahib al-arba'ah ini, Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)—yang
menyatakan bahwa ia telah menemukan hadits-hadits maudhu' yang termuat
dalan kitab sunan yang satu ini, terlepas dari bantahan lanjutan yang
dilakukan oleh Jalaluddin al-Sayuthi yang mencoba melakukan pembelaan atas
kritik al-jauzi tersebut. Tanggapan dan pembelaan ini dapat di lihat dalam
kitab karangannya yang berjudul al-La'ali al-Masnu'ah fi al-Ahadits
al-Maduhu'ah. Atau jika sebuah komparasi berdasarkan derajat kitab-kitab
shahih dapat dibenarkan, maka tak salah studi kritis dapat dilakukan terhadap
kitab yang satu ini, sama halnya studi kritis yang dilakukan terhadap kedua
kitab shahih di atasnya.
D.
STUDI KRITIK ATAS KITAB SUNAN ABU DAWUD
Baik
al-Quran maupun Sunnah ataukah Hadits sebutannya, kedua-duanya dipandang
sebagai teks utama dalam tradisi masyarakat Islam. Al-Quran dipandang sebagai
firman Tuhan yang abadi, diwahyukan, dihafal—disamping juga ditulis secara
terpencar, diriwayatkan secara lisan, yang kemudian didokumentasikan dan
terpatrikan dalam sebuah mushhaf, yaitu mushhaf utsmani. Untuk
rangkaian yang terakhir ini, tampaknya hadits juga mengalami hal yang sama
yaitu terpatrikan ke dalam beberapa kitab hadits yang dianggap akurat dan
autentik, yaitu kutub as-sittah. Hadits, yang sebelumnya dalam bentuk
lisan merekam tradisi yang hidup dalam masyarakat Islam terdahulu, tetapi
setelah bergeser ke bentuk tulisan, ia tidak lagi berubah dan berkembang tetapi
terekam ke dalam bentuk yang terstruktur dan terorganisasi.
Untuk
kasus yang sama, sebagaimana juga Sunan Abu Dawud yang
telah mempatrikan rangkuman hadits-hadits hukum Islam (fiqh) dalam
perspektif Abu Dawud, tentu analisis yang lakukan
tidak akan terlepas dari dua kubu utama yang terdapat pada hadits, yaitu sanad
dan matan
hadits. Kedua aspek ini merupkan sentral dalam melakukan analisis yang mau atau
tidak mau adalah objek kajian sebelum dilakukannya uji autentisitas hadits.
Dari
kedua aspek, sanad dan matan tersebut,
baru kemudian beranjak untuk melakukan kajian kritis, dalam hal ini secara
spesifik terhadap karya Abu Dawud, kitab Sunan Abu Dawud.
Secara garis besar dapat penulis kelompokkan sebagai berikut:
1. Aspek sanad,
dalam aspek ini tidak terkecuali siapapun orangnya, termasuk Rasulullah saw.
Akan tetapi secara teknik, tolak ukur analisis akan dilihat dari dua faktor. Pertama faktor internal, yang terdiri dari faktor ke-wara'an
seorang rawi, kekuatan hafalan, kepiawaian dan beberapa faktor lain
yang biasa dipergunakan oleh ulama hadits klasik dalam menentukan ke-tsiqah-an
sebuah sanad. Kedua faktor eksternal, yang terdiri dari faktor
sosial, politik dan teologis seorang rawi. Hal tersebut
menyebabkan Imam Abu Dawud menempati thabaqah yang ketiga karena luasnya ruang
lingkup para perawinya, beliau meriwayatkan dari thabaqah yang tidak
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim.
2. Aspek matan, dalam
aspek ini, juga ada dua faktor yang dapat dijadikan pisau analisis kajian. Pertama
faktor internal yang terdiri dari faktor linguistik, keserasian dengan
pesan moral al-Quran, keserasian dengan hukum alam, keserasian dengan
pengalaman umum dan keserasian dengan kesimpulan rasional. Kedua faktor eksternal yang membentuk
teks, seperti konteks sosial, politik, teologis dan lainnya.
Didalamnya termasuk syarat yang beliau katakan sendiri dalam kitab “Risalah ila
Ahli Makkah”, yang bunyinya antara lain: “……Saya sebutkan didalamnya (As-Sunan)
hadits shahih dan yang menyamainya dan mendekatinya….” Selanjutnya adalah “…
Jika ada di kitabku hadits yang didalamnya terdapat dhaif yang syadid (tegas),
maka aku beri petunjuk dan terangkan, Dan jika aku tidak menyebut apa-apa
(yakni tidak berkomentar apa-apa atau diam) maka berarti itu shahih, dan
sebagiannya lebih shahih dari sebagian yang lainnya…”
Dengan
berpijak pada dua aspek di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan umum,
bahwa kitab Sunan Abu Dawud, tidak dapat digolongkan secara totalitas
sebagai kitab hadits yang sangat terjamin autentisitasnya, meskipun para ulama
seperti Ibn 'Arabi dan lainnya sangat menyanjung keberadaan kitab sunan ini.
Secara metodologi analisis, Abu Dawud hanya menggunakan metode kritik rijal
al-hadits (para perawi hadits), apalagi untuk sampai menyentuh pada beberapa
aspek dan faktor di atas, sama sekali belum beliau lakukan.
Selain faktor tersebut, dari aspek sistematika kajian dan penyusunan kitab, Abu Dawud lebih terobsesi oleh keinginan mengakomodir
hadits-hadits hukum yang kemudian disusun berdasarkan objek kajian fiqh (hukum
Islam). Ini terbukti dari beberapa kualitas hadits yang beliau sendiri akui
menempati kualifikasi dha'if. Beberapa
alasan beliau antara lain :
1. Metode
penulisannya yang menghimpun semua hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum
fiqh, dan yang sebelumnya telah dijadikan pendapat oleh salah seorang ulama.
2. Orientasi
pemikiran beliau menganggap, bahwa hadits dhaif meski ke-dhaifnya syadid , itu
masih lebih kuat daripada pendapat orang (ra’yu’r-rijaal).
3. Jika
ada hadits yang dhaifnya syadid, sesungguhnya beliau menyebutkannya tidak lain
sebagai dalil bahwa beliau tidak setuju dengan isinya, karenanya diberi
petunjuk dan keterangan tersendiri.
Jika didalamnya juga terdapat beberapa hadits
mursal, beliau berpendapat :
1. Hadits
hadits tersebut telah dipakai sebagai hujjah (dalil, argumentasi) oleh para
ulama dahulu.
2. Ketika
beliau tidak mendapatkan hadits musnad yang muttashil.
3. Sebagian
ulama memberi pembelaan, beliau mengambil hadits yang mursal berdasarkan
syarat-syarat yang ditetapkan Imam Asy Syafi’i, yaitu :
a. Hendaknya
yang mengirsalkan (mursil) hadits tersebut adalah dari kalangan pembesar
tabi’in.
b. Hendaknya
jika disebutkan mata rantai sanad yang hilang itu, maka tidak akan disebutkan
kecuali ia perawi yang tsiqah’
c. Hendaknya
ada pendapat alim ulama yang serupa dengan kandungan hadits tersebut.
E.
KEISTIMEWAAN
KITAB SUNAN ABU DAWUD
Meskipun
derajat kitabnya berada dibawah Imam Al-Bukhari dan Muslim, tetapi banyak
terdapat keistimewaan yang tidak didapati dari kitab lain, antara lain :
1.
Pujian para
ulama pada Kitab Sunan Abu Dawud:
a. Ibnu’l
–A’rabi berkata :” Seandainya seseorang tidak mempunyai ilmu kecuali hanya ada
padanya mushaf al-Quran dan kemudian kitab Abu Dawud, niscaya tidak akan
dibutuhkan lagi kepada ilmu selain kedua kitab itu “
b. Yahya
bin Zakariya as-Saaji berkata :”Dasar atau pondasi Islam adalah Kitabullah (al
Quran) dan tiangnya adalah Sunan Abu Dawud.”
c. Al
Hafizh Abu Thahir as-salafi meriwayatkan dengan sanad sampai ke Hasan bin
Muhammad bin Ibrahim, sesungguhnya ia berkata :”Saya pernah melihat Rasulullah
SAW dalam mimpi bersabda :”Barang siapa ingin berpegang teguh kepada sunnah,
maka hendaknya ia membaca Sunan Abu Dawud.
2. Metodologi
penulisan kitabnya :
a.
Caranya dalam
menghimpun hadits-hadits hukum tidak tertandingi oleh siapapun. Didasarkan oleh
pengakuan Imam As Suyuthi.
b.
Dikumpulkannya
seluruh sanad dalam satu sanad dan merinci setiap lafadz dari setiap sanad
secara detail.
c.
Terkadang
diambilnya riwayat yang berbeda-beda dalam penerjemahan babnya.
d.
Dalam
menerjemahkan satu bab, beliau memberi petunjuk tentang hukum suatu masalah
(yang terdapat dalam hadits).
e.
Meringkas hadits
yang panjang, yang jika ditulis sebagian orang yang mendengarnya tidak akan
tahu dimana letak fiqhnya.
F.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari paparan
diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Kitab Sunan
Abu Dawud, adalah
kitab hadits yang secara sistematika penulisan merupakan kitab pertama yang
disusun berdasarkan urutan bahasan fiqh. Karena itu ia banyak memuat
hadits-hadits hukum.
2. Kitab Sunan Abu Dawud, adalah kitab
hadits yang tidak hanya memuat hadits-hadits shahih namun juga terdapat
hadits-hadits dha'if di dalamnya, bahkan ada yang sampai masuk kategori dha'if
terendah, maudu'.
3. Meskipun ada upaya dari Abu Dawud untuk
memberikan penjelasan terhadap hadits-hadits dha'if-nya, namun perlu
ditekankan upaya tersebut hanya baru dapat dilakukan beliau pada beberapa
hadits saja, dan tidak menyentuh pada hadits-hadits dha'if di dalam
kitabnya.
4. Kitab Sunan
Abu Dawud, adalah kitab hadits yang dapat dijadikan sebagai referensi
alternatif bagi siapa saja yang berkepentingan untuk menjadikannya sebagai
referensi dan rujukan argumentasi, namun harus terlebih dahulu menelaah dan
mengkajinya secara mendalam dan ketat terhadapnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Bin Abdullah. Kuttab Kutubu at-tisah. Dalam Edisi Bahasa Indonesia. Cet. I. Jumadil Awal 1428 H/ Maret 2007. (Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah).
Adz-Dzahabi bin Ustman, Imam Syamsudin Muhammad
bin Ahmad. Nuzhatul Fudhala’ tahdzib
siyar a’lam an-nubala. dalam Edisi
Bahasa Indonesia. Cet.
I. November 2008. (Jakarta:
Pustaka Azzam, Anggota IKAPI DKI).
Al-Khatib, M. Ajjaj. Ushul al-Hadits: Ulumuhu wa Mushthalahuhu. 1989.
(Baerut: Dar al-Fikr).
Al-Siba'i, Musthafa. Sunnah dan Peranannya dalam Islam. Terj. 1981.
(Jakarta: Pustaka Firdaus).
Alimi, Ibnu Ahmad.Hadis-hadis Sekte. Cet. I. 1996.
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Azami, M. Mushthafa. Tokoh dan Ulama Hadits. 2008. (Jakarta: Mumtaz).
Jamil, Sidqi Muhammad. dalam Sunan Abi Daud. 1994. (Baerut: Dar
al-Fikr).
Muhammad, Ali bin. Dalam muqaddimah, Dha'if Sunan Abi Daud. 1991.
cet. I.(Baerut: al-Maktabah al-Islami).
Suhail, Ahmad Kusyairi. Profil
Enam Kitab Induk Hadits dan Metodologi Kritik Hadits Para Penulisnya.